Thursday, October 30, 2008

My Created Story (Hena>>>>>9) - END

BAB IX

"Vin, kau harus bantu aku kali ini."
"Bukannya juga biasa aku yang membantumu?"
"Jadi mau hitung-hitungan nih?"
"Yah, itu pun kalo kau bisa berhitung Hen,"
"Sialan!" seru Hena melempar bantal kearah Lovin yang lagi asyik dengan game di komputernya. "Mau bantu nggak?! Berhenti dong main game-nya."
"Ada apaan sih?!"
"aku mau menjodohkan papa sama mama May,"
"Bukannya mereka suami-istri?"
"Kau kan tau ceritanya, kenapa pura-pura bego gitu sih! Maksudku aku mau menjodohkan mereka supaya itu-tuh..." kerling Hena.
"Apaan?" tanya Lovin dengan tampang bloon.
"Bloon beneran baru kau tau rasa!"
"Amit-amit!"
"Makanya serius dong!"
"Gini deh Hen," ujar lovin serius sambil mematikan komputernya. "Pada dasarnya kan papa nggak mungkin sekian lama bersama mama May tapi sama sekali nggak ada gimana-gimana. Nah, jadi tinggal bagaimana caranya kita buat perasaan papa itu terungkap."
"Yaelah On, dari tadi yang ku maksud kan emang itu?! Culun!"
Sambil debat, sambil canda Hena dan Lovin terus menyusun strategi termanis juga terindah untuk papa dan mama May sepulang bulan madu mereka yang pertama. Sebelum memutuskan pergi honey moon, papa tau sudah ada sesuatu rasa yang berbeda darinya untuk mama May. Tapi Papa belum berani memastikan. Makanya, Hena terus menempuh segala cara supaya perasaan itu diungkapkan.
Tapi dibalik itu, apa Hena sungguh rela? Cinta papa untuk mama disurga beralih pada mama May, yang sejak dari Hena masih belum dilahirkan sudah sangat mencintai Papa? Waktu yang akan menjawabnya barangkali.
Hena berpikir, perasaan itu sama seperti tanaman. Kalau perasaan buruk terus dipupuk dan dipelihara, maka kepahitan akan tumbuh dan terus berakar. Tapi perasaan yang baik jika terus disirami akan mendatangkan kebahagiaan yang abadi.
Serahkanlah seluruh permasalahan pada-Nya, andalkan Dia karena tanpa kuasa-Nya semua akan sia-sia. Sebaliknya bersama Dia tak ada satu pun yang sulit bagi kita untuk dihadapi, kelemahan kita diubahkan jadi kekuatan. Air mata kita diubahkan jadi suka cita.
Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatan mu (1kor 10:13)
THE END
Jesus Bless U All...

My Created Story (Hena>>>>>8)

BAB VIII

Hena menimbang-nimbang satu keputusan lagi didepan sebuah buket bunga. Apakah cukup dengan menghadiahkan satu buket bunga ini sebagai permintaan maafnya kepada Papa, atau sebaiknya memasakkan sesuatu yang terbaik untuk Papa? Tapi kata Tante May Papa belum boleh makan sesuatu yang bukan dari menu Rumah Sakit.
Minggu lalu Papa sudah sadar dari koma-nya, tapi Dokter menyarankan untuk beristirahat cukup di Ruimah Sakit sampai benar-benar pulih kondisinya. Dan dari semua kejadian ini, Hena terus mengucap syukur tanpa henti pada Tuhan. Semua keajaiban dan mujizat hanya ada dalam nama Yesus, dan Hena jadi mengerti. Benar yang dikatakan Lovin, tidak ada doa yang sia-sia. Tidak ada doa yang tidak didengar Tuhan. Tak kurang panjang tangan Tuhan untuk menolong, tak kurang tajam telinga-Nya tuk mendengar setiap seruan doa ana-anak-Nya.
"Bunganya cantik sekali, untuk pacar ya Kak?!" Pekik seorang bocah cantik yang membangunkan lamunan Hena.
"Kamu suka? Cantik loh, seperti kamu." Goda Hena sambil mencium bunga yang dipegangnya. Lalu ia berjongkok mendekati bocah itu diatas kursi rodanya.
"Kakak juga cantik..."
"Bener?"
"He-eh!" jawab bocah itu mengangguk antusias, menandakan dia nggak sedang berbohong. Kakak benar-benar cantik.
"Karena kamu anak baik, pintar, nggak suka ngibul, Kakak kasih kamu satu kuntum bunga yang paling cantik. Kamu suka yang ini?"
"Semuanya cantik, jadi terserah aja deh dikasih yang mana juga,"
"Nih, dua deh buat anak cantik seperti kamu. Bonus."
"Makasih banget Kak, Kakak tambah cantik deh..."
"Wah, mulai nge-gombal ya?" Hena tertawa.
"He...he... belajar dari Kak Edy..." bisik bocah itu genit. Hena tertawa lagi.
"Ya udah deh, Kakak naik dulu ya. Cepat sembuh ya cantik..."
"Makasih, dadah Kakak...!!!"
Kemudian Hena setengah berlari mengejar lift yang hendak tertutup.
"Makasih," ucapnya pada seorang dokter yang menunggunya dari dalam lift tadi.
"Kamu cantik." Celutuk Dokter muda itu. Nada nya datar, tidak sedang menggoda ataupun merayu. Hena lalu berbalik mencari-cari siapa yang dimaksud dokter tersebut. Tapi mereka hanya berdua dalam lift. Tunggu sebentar, ini ada sesuatu yang janggal. Kenapa semua orang memujinya cantik hari ini? Apa ada sesuatu yang aneh? Diam-diam dia mencuri pandang kearah cermin disampingnya.
"Ya Tuhan!!" pekik Hena kaget mendapati bayangan dirinya dalam cermin tersebut.
"Nggak usah dilepas, kamu cantik dengan bunga itu." Goda si dokter sambil terus memandang wajah Hena yang bersemu merah. Kamu benar cantik kok. Tanpa bunga ditelinga itu sekali pun.
"Mari Dok, saya duluan..." pamit Hena buru-buru keluar dari lift begitu pintunya terbuka.
Terus dia berjalan kencang sambil menundukkan wajahnya. Jantungnya berdebar-debar, malu. Tapi dia gembira.
"Hena!" seru seseorang menghentikan langkah Hena tiba-tiba.
"Eh, Tante? Eh, ya ampun, aku kelewatan ya?" jawab Hena kikuk.
"Kenapa kamu? Sakit?" tanya Tante May khawatir. Memang beberapa hari ini Hena kurang istirahat dan terus dua puluh empat jam mengawasi kondisi papa-nya, sampai benar-benar melewati masa kritis.
"Ah, nggak, nggak sakit kok. Sehat aja. Tante gimana? Eh sori, maksudku Papa gimana?"
"Papa baru makan obat dan belum boleh diganggu." Jawab Tante seadanya, masih dengan alis mengkerutmya. "kamu betul, nggak sakit Hen?" Tante may memastikan.
"Sehat tante. Suer!"
"Ya udah kalo gitu. Kita ngobrol ditaman aja yuk, sambil nunggu Papa kamu bangun."

Dua kali putaran sudah Hena mengelilingi taman di rumah sakit dengan pandangannya. Beberapakali dia menghirup udara segar pagi hari ini bersama perasaannya yang riang dan gembira.
"Capucino Hen? Kesukaan mu kan?"
"Kok tau Tante?" sajut Hena menerima segelas kopi susu kesukaannya.
"Tau aja deh pokoknya," lantas mereka tertawa kecil bersama. Lalu hening. Sesekali mereka saling melempar senyum dan saling memandang. Seperti ada sesuatu yang ingin diutarakan, tapi... entahlah.
"Hen..."
"Ya tante?"
"Hem...kamu..." antara mengutarakannya atau tidak, Tante May masih ragu.
"Ya, Tante?" kata Hena memberitaukan bahwa ia masih menunggu lanjutannya.
"Kamu... pernah membenci tante?" akhirnya pertanyyan yang selama ini ia pendam keluar juga. Dan Tante juga sadar tidak mungkin lagi dia menghindar dari itu semua dengan sengaja tidak membicarakannya.
"Yang aku benci waktu itu bukan Tante, tapi...sudahlah tante. Males ngomongin hal buruk yang sudah lewat. Lagian, puji Tuhan, aku sudah dibebaskan dari perasaan yang dulu."
"Makasih Hen, kamu anak yang baik. Kamu juga terlihat lebih dewasa sekarang."
"Yaiyalah... keturunan Tante. Papa sama Mama kan orang baik, anaknya juga baik dong!" gurau Hena mengalihkan arah pembicaraan. Dia nggak mau terus memikirkan dan membincangkan masa lalu yang baginya adalah mimpi buruk. Yang mau dia hadapi adalah masa depan, dan kebahagiaan yang cukup lama hilang dalam hidupnya.
"Hen...begitu papa sembuh...apa kamu mau tinggal sama kami?"
Hena hampir menangis saking terharunya, ini adalah tawaran yang diidam-idamkannya. Malah, dia pikir setelah sekian tahun dia mengambil sikap memusuhi papa dan tante May, Hena akan tetap hidup seorang diri tanpa Papa dan keluarga meski Papa telah memaafkannya.
"Bo-boleh Hena tanya sesuatu dulu sama Tante?" jawab Hena gugup.
"Kamu boleh tanya apa saja sama tante."
"Tante... rela menerima aku..." Tante May sama terharunya, lama dia merindukan sosok manja seorang anak. Tak kuasa menahan emosinya, Tante May tersenyum manis sambil meneteskan air matanya, lalu dia mengangguk pasti. Pandangan matanya tak dapat menutupi keinginannya untuk memeluk Hena dengan segera.
"Boleh tanya satu hal lagi?" Hena memohon.
"Boleh, tapi lebih dari pada itu kau harus membayar denda. Pertanyaan Tante aja belum kau dijawab." Canda Tante May sambil meraih tisu dalam tasnya.
"Sori tapi sebelumnya, aku ingin tau. Apa... selama ini Tante dan Papa sudah..."
"Dari dulu aku sudah mencintai papa kamu...tapi, dia lebih mencintai dan memilih mama mu." Mata May memerah, basah.
"Maafkan aku Tante," sesal Hena.
"Tante dan Papa belum pernah benar-benar menikah. Dimata hukum, agama, kita memang sah suami-istri. Tapi kenyataannya... kita seperti dua saudara yang tidur dalam satu ranjang..."
"Maafkan aku tante..." Hena benar-benar menyesal mengeluarkan pertanyaan bodoh itu. Hatinya ikut sakit, sama sakitnya sewaktu dia tau papa pergi meninggalkan mama untuk wanita lain.
"Cinta tak dapat dipaksa Hena, dia bisa seketika datang, bisa seketika pergi. Dan saat kita menyambut cinta itu datang, kita juga harus siapkan hati untuk ditinggalkan cinta."
"Sudah Tante, jangan diteruskan lagi...sori aku-aku nggak akan menanyakan hal yang bodoh gini lagi."
"Tapi Tante kagum, cinta dihati Papa kamu tidak mudah sirna. Semoga, begitu dia mulai mencintaiku, dia punya cinta yang sama abadinya ketika dia mencintai mama kamu..." lanjut May menumpahkan seluruh kegundahannya selama ini.
"Tante..." Hena memeluk erat pundak May.
"Kamu pasti bahagia punya papa sama mama yang terbaik didunia. Seandainya aku punya..."
"Tante juga bisa jadi mama terbaik buat Hena, kalo tante rela menerima Hena sebagai anak tante. Aku mau tante..." tanpa panjang kata, tanpa banyak mengeluh lagi, mereka saling berdekapan. May mengecup kening hena beberapakali.
"Terimakasih Hen..."
"Makasih Ma..."

My Created Story (Hena>>>>>7)

BAB VII
Jika waktu dapat berulang kembali, aku bersumpah. Aku tidak akan sebodoh ini. Aku bersumpah nggak akan seperti anak-anak yang tidak mau mencari tau masalah yang sebenarnya. Aku tidak mau menjadi buta hingga aku jatuh kejurang curam, yang padahal semua orang sudah berteriak bahwa bahaya jika aku terus berjalan. Oh betapa bodoh aku yang menjadi tuli karena keegoisanku, hingga aku juga tidak mendengar semua teriakan orang-orang.
"Papa... ini Hena..." bisiknya ditelinga Papa dengan harapan, meskipun Papa dalam keadaan koma bisa merasakan kehadirannya disana. "Ampuni Hena Pa... ampuni anakmu yang durhaka ini. Tolong, tolong jangan tinggalkan Hena... "
Tangan Papa bergerak, dan Hena kontan berteriak pada seisi ruangan. "Papa sadar!" Lalu semua yang menjenguk Papa berkurumun mengelilinginya. Mata Papa sedikit terbuka, lalu menoleh kearah Hena yang beruraian air mata. Papa tersenyum tipis pada Hena, kemudian Papa pingsan lagi dan kembali kealam koma-nya.
Hena histeris, dia meraung sejadi-jadinya. Ketika orang-orang menenangkannya, dia malah meronta ingin membenturkan kepalanya kedinding, dia pikir Papa akan meninggalkannya sendirian, setelah dia sadar ada keluarga yang masih mencintainya. "PAPA...!!!" jeritnya. "Ampuni Hena Pa! Bangun Pa...tolong bangun Pa..." Papa tetap terbaring dengan mata basahnya.
"Tuhan Yesus, tolong bangunkan Papa, jangan buat Papa meninggalkanku dengan penyesalanku. Aku mohon kasihani aku yang berdosa ini Tuhan... sadarkan Papa. Ampuni aku Tuhan, ampuni aku yang terlambat tau dosa yang kulakukan." Doa Hena kemudian. Tidak seberapa lama setelah berdoa, Hena pingsan. Tidak kuat menghadapi situasi buruk yang menimpanya.

Malam menjelang, Hena yang tadi pingsan belum juga sadar. Lovin terus-terusan disampingnya tidak putus mendoakan. Sesekali, didepan kamar ICU Lovin juga mendoakan Papa Hena. Dan malam semakin larut, Lovin tertidur kelelahan di sofa.
Sementara Hena, dalam tidurnya memasuki ruang dingin yang gelap dan hening. Ruang yang kosong, hingga saat dia berlari jauh pun tidak menemukan satu saja titik terang. Bersama ketakutannya, terus saja ia berlari mencari-cari sesuatu yang dapat menolongnya, namun tetap saja semuanya kosong, gelap dan dingin. Hena mulai menangis ketakutan saat tidak ia temukan apa pun meski sudah berlari sangat-sangat jauh, dan ia merasakan kelelahan yang luar biasa.
Dalam ketidakberdayaannya, ia pasrah dengan apa saja yang akan terjadi dalam situ, namun ketika dia memutuskan untuk pasrah, ada seberkas cahaya terang menyinarinya. Semakin terang, dan lebih terang lagi cahaya itu datang. Kedinginan yang ada tadi berubah panas hingga Hena merasa dia akan terbakar dan binasa. Hena menjerit bukan karena sakit, tapi dia ketakutan. Tapi, panas membara itu berangsur padam. Dan begitu panas tadi tidak terasa lagi, tubuhnya berasa ringan. Rasanya semua beban yang digendongnya tadi sudah terjatuh dan lepas dari pundaknya. Hena tersenyum dalam tidurnya, lalu ia terbangun dengan perasaan yang lebih jauh tenang.
"Minum susu ini dulu, kamu sudah lumayan lama tertidur." Hena kenal dengan suaranya, tapi tidak mengenal wajah yang menyodorkannya segelas susu itu. Wajahnya selembut suaranya.
"Hem..." Hena berusaha mengingat-ingat dulu sebelum dia bertanya siapa anda.
"Aku Tante May. Panggil saja May, atau apa aja yang kamu suka." Tante May menjawab arti kerutan di alis Hena. Lalu tersenyum tipis.
"Tante May...?" Hena berusaha mengingat-ingat lagi nama itu, rasanya dia kenal dengan nama itu. Tapi dimana ya...?
"Diminum dulu susu nya, perut kamu kosong benar, nanti kamu malah sakit." Hena hampir menangis mendengarnya, sudah lama dia haus akan kasih sayang begini.
"Oh ya Tante, teman saya..."
"Tante suruh dia pulang bentar untuk istirahat, kasihan dia ikut puasa nungguin kamu sam..."
"Papa! Tante, Papa gimana!?" tiba-tiba teringat bahwa dia ada disini karena Papa.
"Tenang Hen, Papa kamu sudah lewat masa kritisnya. Sekarang nggak boleh diganggu dulu. Lagian... kamu juga baru siuman. Istirahatlah dulu,"
"Makasih Tante untuk semuanya." Keluh Hena menghela napas lega.
"Semuanya?" Tante May berhenti mengupas apel dan memandang Hena. Apa maksud dengan semuanya? Apa Hena sudah tau hubungan antara dia dan Papa? Tapi kenapa justru Hena berterima kasih, bukankah dia marah dan benci...?
"Makasih tante sudah ngabarin kalo Papa dirumah sakit dan... makasih untuk... perhatian Tante... jujur Tante. Aku lama merindukan..."
"Sudahlah, Tante tau apa yang mau kamu katakan." Potong Tante May menyudahi. Ya Tuhan, taukah Hena siapa aku ini? Jika dia tau, mungkinkah dia bisa bersikap manja begini?
"Aku sudah ingat siapa Tante..." ujar Hena datar, setelah beberapa menit mereka sama-sama diam dan mengkaji pikiran masing-masing. Tante May tersenyum kecut, dan dia jadi kikuk tidak tau harus mengambil sikap apa. Diamkah, minta maafkah, atau dia harus menangis atau melempar satu senyum yang penuh penyesalan?
"Maafkan aku sudah merebut Papa kamu..."
"Bukan sepenuhnya salah Tante. Aku sudah tau semua kisah percintaan segitiga antara kalian..." Ganti Hena yang salah tingkah. Tetapkah dia harus tersenyum manis seperti sebelum teringat siapa sosok Tante May, atau berubah dingin, bahkan menghakimi?
"Tapi tetap saja dimata kamu aku yang me..."
"Tante..." potong Hena cepat.
"Ya?" jawab tante May kikuk, matanya berlari-lari saat bertatapan dengan Hena.
"Apel-nya please... aku lapar banget nih..."
Mereka sama-sama tertawa. Ada kebahagiaan lain dalam hati mereka. Dan itu luar biasa indah.

My Created Story (Hena>>>>>6)

BAB VI

Pagi yang cerah, matahari selalu terbit tepat pada waktunya, angin pagi yang sejuk memasuki kamar Hena yang sumpek. Lovin yang sengaja nginap disana terbangun dengan suara bising dalam gang seperti biasanya, tapi Lovin yang tidak terbiasa segera terbangun. Dilihatnya Hena terlelap dalam kelelahan. Semalam, Hena tidak putus menangis, hingga matanya yang bening dan indah ternoda dengan mata sembap. Tapi kelelapan itu tidak lagi panjang begitu HP Hena tiba-tiba berdering.
"Ya, hallo..." jawab Hena dengan mata masih tertutup.
"Hena...?" tanya suara lembut diseberang ragu-ragu.
"Ini siapa?" Hena balik bertanya dengan suara garaunya.
"Apa benar kamu... Hena?" suara lembut itu juga mengacuhkan pertanyaan Hena karena ia ingin segera memastikan kalau yang ditelponnya benar-benar Hena yang ia cari.
"Ya, saya Hena. Ini dengan siapa?" Hena mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Saya mohon, datanglah kerumah...sakit, sekarang...papa mu...ah, tolong cepatlah datang..." keluh wanita lembut itu ketakutan, lalu telpon terputus begitu saja.
Antara mimpi dan sadar, Hena belum ngeh dengan yang terjadi. Sewaktu Lovin mengguncang-guncang tubuhnya pun Hena masih tak bergeming. Dan tanpa ia sadari air hangat mengalir begitu saja dari matanya, namun Hena masih bingung dengan apa yang terjadi.
Lovin berlari kencang kedapur mengambil segelas air putih lalu diberikannya pada Hena yang makin tersedu-sedu menangis dan tidak menghiraukan sama sekali pertanyaan Lovin. "Hen?!" seru Lovin panik.
"Pa...pa..."
"Kenapa dengan dia? Ada apa?"
"Rum-ah...sakit..." Lalu Hena terkulai lemas. Dia sudah menyadari apa yang dimaksud wanita penelpon tadi. Papa sedang sekarat dirumah sakit saat ini.
Penyesalan tadi malam terkuak lagi, Belum sempat Hena minta ampun pada Papa dan kejadian ini sudah terjadi. Terus kemana penyesalan yang menyesakkan ini harus dibawanya? Kemana dia harus menguburkan penyesalan dan sekaligus dirinya itu? Hena tidak tahan lagi dengan yang dialaminya sekarang. Semua perkataan yang Lovin sering lontarkan terngiang dalam ingatannya.
'Rasa penyesalan itu adalah hal yang paling menyakitkan Hen...' Dan sekarang Hena mengerti rasanya, dia tau bagaimana sakitnya menghadapi penyesalan tersebut.

My Created Story (Hena>>>>>5)

BAB V

"Aku terlalu mencintainya Tuhan. Begitu dia pergi dari hidupku dan anak kami, seperti hilang semua akal sehatku. Aku tidak bisa berpikir jernih dan terus memikirkannya... Ya Tuhan, tolong beri hambaMu ini kekuatan untuk tetap bisa bertahan tanpa cinta suamiku, dan jangan biarkan aku terus terjun dalam kekelaman. Bantu angkat saya, tolong agar saya bisa bangkit dalam keterpurukan ini ya Tuhan, supaya aku bisa membesarkan anak kami Hena dengan baik..."
"Kenapa papa jahat sekali sama mama?!" emosi Hena mulai membara lagi.
Sejujurnya Hena belum benar-benar mampu menerima maaf papa begitu saja. Dia merasa harus ada pembalasan dulu terhadap papa baru dia puas dan akan menerima papa kembali hidup bersamanya.
"Kenapa juga mama bisa mencintai orang semacam itu ma?!" geram Hena sambil memeluk erat buku diary mama yang sangat usang, lalu beberapa lembar kertas terjatuh berhamburan kelantai.
"Hena...!!" Lovin datang, serta-merta Hena meraup semua kertas yang berserakan dilantai itu dan menyelipkannya begitu saja dibawah bantal.
"Kamu nangis Hen?" tanya Lovin begitu membuka pintu kamar dan mendapati mata Hena terlihat sembab.
"Hah? Ah, nggak... Cuma...Cuma... " Hena gelagapan.
"Kamu boleh cerita apa saja Hen. Aku selalu ada untuk kamu." Meski Hena berusaha menutupi, tapi dia tetap nggak bisa membohongi Lovin.
"Aku belum bisa memaafkan papa Vin. Aku nggak tau lagi harus bagaimana supaya bisa menerimanya kembali, aku-aku masih membencinya..."
"Hen, dengarkan aku kali ini. Yang pantas menerima atau tidak menerima maaf papa cuma Tuhan. Kamu sebagai anak hanya pantas berbakti sama orangtua. Berdoalah minta pelepasan pengampunan itu Hen, Tuhan Yesus dengan kuasa-Nya mampu menyuci-kuduskan hati kita. Always keep praying." Hena menitikkan air mata lagi.
"Aku nggak kuat hidup seperti ini Vin. Aku ingin bebas, aku ingin hidup normal tanpa beban dosa apalagi menimbun dendam seperti sekarang. Help me Vin..."
"Aku cuma bisa berdoa dan berdoa Hen. Karena aku yakin tidak ada doa yang sia-sia. Tapi tetap hanya Tuhan yang mampu membebaskan kamu dari beban berat itu." Lovin mengelus-elus pundak Hena yang sesungukan.
"Tolong doakan aku Vin..."
"Pasti. Tanpa kau memintanya aku sudah melakukannya."
"Thanks for everything you've done on me. Aku bersyukur masih ada sodara seperti kau Vin. Aku benar-benar bersyukur," ucap Hena yang menyadari bahwa masih ada Lovin, sahabat yang tidak bosan dan jemu menemaninya dalam situasi apa pun. Dan dia sangat berterimakasih pada Tuhan yang mempertemukan Lovin kepadanya.
"Mandi dah, bau tengik kau Hen." Kata Lovin begitu dilihatnya Hena mulai bisa mengendalikan emosinya dan sudah berhenti menangis.
"Sialan. Baru aja aku selesai mengucap syukur sama Tuhan punya sahabat sepertimu, eh ternyata oh ternyata..." dumal Hena sambil meraih handuk yang tergantung dibalik pintu.
Sementara Hena bersiap-siap mengharumkan diri, seperti biasa Lovin selalu membantu merapikan kamar Hena yang tidak pernah rapi, juga sudah mulai bau apek. Dibukanya lemari untuk mengambil sprei baru, mengganti sprei lama yang sudah seperti kain pel.
Disaat Hena hendak mengganti sarung bantal, Lovin mendapati dibawah bantal ada sebuah buku diary yang sangat usang. Mungkin buku ini yang membuat sprei Hena bau apek, pikirnya sambil mengambil buku itu dan melihat isi dari buku usang yang sampai-sampai disimpan Hena dibawah bantalnya.
'Disatu sisi aku bersyukur Tuhan, memiliki suami yang rela melepaskan kebahagiaan serta harga dirinya untuk anak yang kami cintai, Hena. Aku merasa tidak sia-sia mencintai dia seumur hidupku, tapi disisi lain ada sebuah kekecewaan karena pada akhirnya dengan pengorbanannya itu, kita satu keluarga jadi tidak bisa bersatu lagi...'
Jantung Lovin berdebar-debar membaca isi dari buku itu. Ada perasaan bersalah dalam hati kecilnya karena membaca buku harian mama Hena dengan diam-diam. Tapi seperti ada kekuatan lain yang membawa pikiran dan tangannya untuk terus membaca lembaran demi lembaran yang berisi ungkapan hati yang pilu itu.
'Hari ini aku bertemu dengan mantan suamiku setelah hampir setahun kita berpisah Tuhan, dan ternyata apa yang kita pikirkan selama ini adalah sama. Kita sama-sama menyesali dengan yang sudah terjadi. Seandainya saja kita berdua sudah mengenal Engkau yang Empunya tidak mungkin menjadi mungkin lebih cepat, anak kami pasti akan tertolong tanpa mengorbankan kebahagiaan dan harga dirinya...'
Sambil terus meneteskan airmatanya, dengan pandangan buram Lovin sibuk mencari lembaran lain lagi yang berserakan dilantai.
Ada kesedihan luar biasa merayap dalam hati Lovin, sebenarnya dia juga belum paham betul dengan apa yang diungkapkan mama tentang perjanjian tersebut, tapi ada satu sensasi yang mengguncang emosinya.
'Tuhan-ku Yesus Kristus yang baik...jika seandainya Hena harus tau masalah perjanjian yang menyebabkan papa-nya meninggalkan kami berdua ini, ijinkanlah dia menemukan buku diary yang setiap hari kutulis ini. Tapi seandainya Hena tidak tau masalah sebenarnya, oh Tuhan aku tidak bisa membayangkan kalau dia jadi durhaka membenci orangtua yang sudah berkorban segalanya untuk dia. Tuhan...aku pasrahkan semuanya kepadaMu, aku yakin Kau tau yang terbaik dan terindah bagi kami...'
Lovin menangis sejadi-jadinya. Terus, dia mengumpulkan setiap lembaran yang tercecer dari buku usang itu, dan mendapati satu lembaran agak tebal yang terlipat rapi.
"Lovin?!" hena berhenti mengibas-ngibaskan rambut basahnya lalu mendekati Lovin yang tampak tersudut dan meraung. Buku itu masih dalam genggamannya.
"Ma-maaf kan...aku Hen..." ucap Lovin terbata-bata disertai isak tangisnya.
"Sudahlah, biar kau tau juga aku punya papa yang seperti apa macamnya," Lovin meraung lagi, apa yang mau diucapkannya tidak bisa keluar. Dia belum bisa membayangkan bagaimana reaksi Hena jika seandainya tau yang sebetulnya terjadi, antara mama-papa dan perjanjian tersebut.
"Luar biasa Hen...He is a perfect father for you..." Segera Lovin menyerahkan semua yang telah dibacanya, yang belum sempat terbaca oleh Hena, beserta surat perjanjian antara Dokter Heryanto dengan Bapak Johanes, papa Hena.

Hena merosot sampai kelantai yang sedikit berdebu, besandar pada pintu lemari dan menjatuhkan dirinya sampai tergeletak. Dia merintih kesakitan. Bukan sakit jasmani, tapi sakit batin yang tidak kuat ditanggungnya. Ingin dia menenggelamkan dirinya dalam satu kubangan panas agar dirinya ikut terbakar bersama penyesalannya.
Tiba-tiba rasa takut menghinggapinya, perasaan yang tidak jelas menyiksa Hena sampai ketulang-tulang. Tidak satu pun perkataan mampu diucapkan, dia merasa malu dan takut terhadap apa yang sudah dibuatnya selama ini. Lalu ia merasa kedinginan, tubuhnya, tangan dan kakinya semua jadi beku dan ia menggigil dilantai.
"Hen..." Lovin jadi takut melihat reaksi Hena seperti sekarang. Benar apa yang disangka Lovin, reaksi Hena mengerikan. Kondisi Hena sungguh memprihatinkan.
"Ak-aku...aku..."
"Tau Hen, aku mengerti perasaanmu sekarang ini..." Kepanikan Lovin makin menjadi saat menangkap badan gemetar Hena.
"Lebih dari yang kau kira Vin...a-aku...aku jijik sama diriku yang...yang durhaka Vin..."
"Udahlah Hen, udah..." lovin tau, dia akan segera mencaci dirinya sendiri, dan Lovin tidak akan kuat lagi mendengar Hena yang sudah tersiksa dengan penyesalan trus mengutuki diri lagi. Seerat-eratnya Lovin mendekap Hena agar dia sedikit tenang.

Friday, October 24, 2008

My Created Story (Hena>>>>>4)

BAB IV

'Aku bersyukur atas belas kasihan Tuhan yang Dia beri padaku, Tuhan mendengar doaku dan menyelamatkan Hena. Padahal belum pernah aku berdoa sebelumnya, malahan kenal saja aku tidak dengan yang namanya Tuhan Yesus. Tapi oh sungguh luar biasa kasih dan rahmat yang Dia beri pada hidupku dan Hena. Dia mau memandang hati yang susah, tanpa melihat kebelakang atas apa saja yang telah kami buat...'
Hena menutup buku diary mama yang tidak sengaja ditemukannya digudang saat sedang mencari sepatu Lovin yang dipinjamnya tempo hari.
'Terimakasih Tuhan Kau telah menyelamatkan hidupku. Terimakasih Engkau membukakan hatiku yang hampir tertutup untuk dapat melihat kasih-Mu yang besar. Dan ampuni hamba-Mu yang berdosa ini karena telah hendak pergi jauh dari Engkau Tuhan. Padahal Engkau sudah menyelamatkan aku...' Doa Hena yang baru mengetahui bahwa hidupnya terselamatkan oleh belas kasihan Tuhan terhadapnya. Dia meraih tisu disampingnya, lalu membuka kembali buku diary yang sudah usang itu tapi Lovin keburu datang.
"Kamu nangis Hen?" tanya Lovin yang ngeloyor masuk kekamar dan meletakkan barang belanjaannya diatas meja. Hena mengangguk ragu, matanya tak lepas memandang Lovin untuk mencari kesempatan menyelipkan buku diary itu kebawah bantal.
"Papa barusan datang ya?" Hena diam, apakah harus berbohong ataukah dia harus cerita tentang buku harian mama. "Dan kau mengusirnya lagi, kau maki-maki orangtuamu lagi?!" todong Lovin kesal. "Bagaimanapun juga dalam tubuhmu ada darahnya mengalir disana Hen, jadi bagaimana pun kau tolak, dia tetap orangtuamu." Hena yang tadi masih bengong untuk berpikir jadi terbangun. "Sadarlah Hen, minta Tuhan pulihkan hatimu yang penuh dendam." Lanjut Lovin sambil terus membereskan meja belajar Hena yang selalu berantakan.
"Vin..." desis Hena ditengah ceramah dari mulut Lovin yang tidak kunjung berhenti ngomel.
"Apa?! Kau minta aku berhenti mengomentari masalah ini? Nggak bisa Hen, aku nggak rela kamu makin terjerumus dalam limbah dendam mu itu." Jawab Lovin tegas tanpa menoleh dan terus sibuk dengan pekerjaannya.
"Bukan...aku kangen mama Vin..." Lovin berhenti dari kesibukannya lalu menoleh. Dan betapa kagetnya dia mendapati Hena sudah menangis tersedu-sedu dipojok sana. "Aku rindu sekali padanya..." makin hebat tangis Hena, dan Lovin buru-buru mendatanginya, memeluknya erat. "Kenapa cepat sekali dia pergi tinggalkan aku disini..."
"Kamu nggak sendirian Hen..." Lovin ikut menangis.
"Belum puas aku merasakan kasih sayang mama, tapi dia sudah pergi..."
"Kamu bisa mengandalkanku dan Papa..."
"Jangan sebut dia lagi." Kata Hena sambil sedikit mendorong tubuh Lovin "Please..." mohonnya dengan sangat. "Dari aku kecil hidupku sudah sebatang kara dan itu semua karena siapa?!" tuding Hena berusaha meredam tangisnya.
"Kenapa sekali aja Hen kau tidak mau bertanya, kenapa dulu dia pergi begitu saja. Mungkin dia punya alasan yang kuat atau terdesak sesuatu..." Ujar lovin melepas pelukannya.
"Sudah jelas dia nggak mau bertanggung-jawab dan sudah nyata dia lari bersama wanita lain." Jawab Hena sembari mengeringkan sisa-sisa air matanya.
"Tapi itu kan hanya sekedar omongan tetangga, dan nggak pernah kan kau bertanya pastinya kenapa dia berbuat seperti itu?!"
"Aku malas dengar semua kebohonghannya. Untuk apa aku bertanya hanya untuk sebuah kebohongan? Setiap kali dia ingin menjelaskan aku menutup kupingku rapat-rapat dan pergi."
"Inilah kebiasaan burukmu. Jangan sampai menyesal dikemudian hari Hen, karena penyesalan itu sangat menyakitkan."
"Udah deh Vin. Stop talking about this. I'm bored." Potong Hena. "Aku sudah terlalu dewasa sekarang untuk mendengar kebohongan-kebohongan semacam itu. Nggak lucu kan Vin dengan umurku yang dua puluh tujuh ini harus percaya atas kebohongan yang biasa ditujukan untuk anak kecil?!"
"Dari mana kau tau itu kebohongan, dan siapa tau itu adalah kenyatan?" Tukas Lovin.
"Gini deh Nek, mending sekarang kau temani daku kesalon dan beli baju baru." Seru Hena tiba-tiba jadi riang dan antusias. Lovin mengerutkan keningnya dan mengekori langkah Hena yang meraih handuk dibalik pintu. "Tapi pake duitmu dulu ya," katanya lagi, lalu menjulurkan lidah dan mengedipkan sebelah matanya.
Lovin berpikir keras, apa hari ini ulang tahun Hena atau ulang tahunnya? Tapi perasaan baru aja deh lewat hari ulang tahun mereka berdua. Tahun baru masih setengah tahun lagi malah.
"Emangnya..." Lovin berpikir lagi sebentar, apakah dia ada janji sesuatu? "Emang ada acara apaan?" tanya Lovin akhirnya setelah dia yakin tidak ada ulangtahun dan tidak ada janji apapun.
"Hari ini kan Minggu?" Seru hena seolah mereka telah merencanakan sesuatu.
"Terus?" Masih, Lovin belum dapat menangkap artinya.
"Ntar sore kita kegereja yuk..." Glek!Lovin terbelalak. Akhirnya ya Tuhan, dia mau kembali padamu. Tapi kira-kira apa ya yang membuatnya sadar, sedangkan rasanya baru saja kemaren Hena mengamuk dan selalu protes jika Lovin terus membicarakan tentang betapa baiknya Tuhan itu.
"Apa Hen, coba kau ulangi lagi perkataanmu?"
"Ke gereja monyong!"
"Thanks God! Akhirnya Hen..." Lovin memandang Hena nanar, terharu.
"Thanks untuk doamu yang nggak pernah putus untukku Vin, thanks juga untuk semua kesabaranmu dengan kelakuanku selama ini..." ucap Hena dengan mata berkaca-kaca. "Aku mau kembali pada Penyelamatku. Sudah banyak kesalahan yang kubuat, sekarang aku mau bertobat dan memohon ampun. Aku baru tau, Dia-lah Penyelamatku Vin... dan aku sadar aku sudah berdosa hendak lari dari genggamannya..."
"Praise God...!" hanya itu yang dapat diungkapkan oleh Lovin sebagai ucapan syukurnya, hingga dia lupa untuk bertanya kira-kira apa yang mengubah Hena secepat ini. Baru saja Hena protes atas apa yang diterima dalam hidupnya pada Tuhan. Dan lihatlah sekarang?
"Sori ya Vin yang kemaren-kemaren..." tanpa banyak berbalas kata, Lovin mendekap erat Hena untuk mengatakan bahwa itu semua sudah terbalas dengan kesadaran yang ada dalam diri Hena saat ini.
Lovin menambah kuat pelukannya.
"Vin...uhuk...kayaknya kamu terlalu kenceng deh meluknya, uhuk..." ujar Hena terbatuk-batuk. Tapi Lovin tetap nggak melepas dekapannya. Dia terlalu bahagia. Benar, Tuhan tidak pernah membuat doa seseorang menjadi sia-sia.
"Yah begini juga Tuhan Yesus memelukmu sewaktu kamu ingin pergi dariNya Hen," Lovin masih menangis, masih terharu dan kagum.
"Tapi Vin, setidaknya Dia pasti memberi kelonggaran sedikit kan, agar aku bisa bernapas?" kata Hena dengan suara tertahan seperti orang kejepit pintu.
"Hehehe... udah deh, mandi sono! Bau telur asin tau nggak?!" canda Lovin sembari mendorong tubuh Hena yang kerempeng. Lalu menyeka airmatanya.
"Sialan! Eh tapi Vin, kau bawa duit kan? Pinjem dulu ya..."
"Nggak usah sampe segitunya kali Hen mau kegereja. Yang dipandang Tuhan kan isi hatimu, bukan penampilannya?!" kata lovin sambil membuang cairan dari dalam lubang hidungnya, sebagai reaksi akibat dari tangisnya.
"Sebagai bentuk syukur aja Vin, masa nggak boleh? "
"Whatever lah. But dont forget give my money back, ok?!"
"Nyicil ya?"
"Emang aku tukang kredit?"
"Itung-itung amal lah Vin, biar ntar Tuhan gantikan berlipat-lipat kali ganda..."
"Amin...Amin..."

Sunday, October 12, 2008

My Created Story (Hena>>>>>3)

BAB III

Sepuluh menit lewat dari jam sembilan pagi. Papa masih berdiri didepan pagar kayu coklat yang natural dan cantik. Setelah lewat beberapa menit yang menyiksa batin, Papa akhirnya memutuskan mendorong pagar yang tidak pernah terkunci tersebut.

Lalu papa berjalan gontai, langkahnya sedikit terseret saat memasuki pekarangan rumah yang sangat asri, banyak dipenuhi tanaman hias yang terawat rapi. Samar-samar suara burung kicau mulai terdengar dan empat langkah lagi kedepan, suara burung itu sudah makin jelas. Itu berarti Papa telah berada didepan pintu masuk, yang dulu kerap dia tandangi. Papa terpaku sebentar, berpikir ulang sebelum mengetuk pintu. Apakah ini jalan terakhir yang harus diambil? Apakah benar tidak ada pilihan lain lagi sebagai bandingannya? Apa keputusan ini sudah benar-benar pantas dia bulatkan sebagai jalan akhir yang dia harus putuskan?

Kemudian beberapa menit berubah menjadi setengah jam dan Papa masih memandang pintu tanpa mengetuknya. Tapi sesudah menyeka keringat yang mulai berjatuhan didahi, tangan Papa terangkat untuk mengetuk pintu itu dua kali.

Tidak lama Papa menunggu, sosok tegap nan dingin mengintip dari balik jendela, kemudian Papa menarik napas panjang-panjang untuk meredekan hatinya yang berdebar kencang dan menyeka keringatnya, lalu dia mengikuti langkah sosok tinggi besar didepannya dan duduk di sofa coklat begitu sang tuan rumah mempersilahkannya duduk.
"Apa maksud kedatanganmu?" tanya dokter Heryanto dingin. Sebenarnya ia tau arti kedatangan Papa hari ini. Tapi karena Papa hanya diam tertunduk, ia jadi tidak sabar untuk tidak bertanya.
"Pa, saya..."
"Dokter Heryanto!" potong sang Dokter emosi. "Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi panggil saja saya Dokter Heryanto dan kamu akan saya layani sebagai pasien." Tegasnya sambil mendengus kesal.
"Ma-maaf..." jantung Papa tambah berdetak lebih hebat. Ketakutan mendera batinnya, gelagat tidak mau menolong terpancar dari garis mata tajam sang Dokter.

"Kamu kesini mau menanyakan hal tentang May atau..." Dokter Heryanto sengaja menggantung ucapannya untuk memancing reaksi Papa.
"Saya...mau minta pertolongan Papa..."
"Sudah kukatakan..."
"Saya tau Pa..." sergah Papa cepat. "Saya tau saya salah, saya berdosa dengan keluarga Papa..."
"Bagus kalo kamu sadar!" Merasa ada kesempatan untuk menekan Papa, Dokter Heryanto menanggapi cepat pernyataannya.

"Tapi, tolonglah saya kali ini. Sekali ini saja, saya mohon...pandanglah hubungan kita dulu, bukankah Papa menganggap saya sebagai anak sendiri? Papa yang ngomong gitu sama saya." Todong Papa membuat Dokter Heryanto cukup kaget. Untuk beberapa saat beliau tercengang dan canggung. Tidak menyangka akan mendapat tekanan balik.

"Dengar," katanya setelah susah-payah menelan ludah. "Dulu hubungan kita memang baik dan aku...me...ehem...menyayangimu seperti anakku sendiri... Tapi, setelah kau tinggalkan May, tunanganmu yaitu anakku satu-satunya saat acara pernikahan, Kamu sudah kuanggap sebagai musuh besarku." Geramnya setelah sempat berdehem sebentar. "Dan kau tau, sekarang dia dalam perawatan rumah sakit jiwa. Depresi berat!"
"Aku meninggalkan dia karena aku menyayanginya. Aku sadar aku tidak mencintai May tapi aku menyayangi dia seperti adikku sendiri, karena kita dari kecil sudah bersama layaknya saudara kandung... Pa, bagaimana nasib May kalau kita tetap menikah tapi aku terus memikirkan wanita lain diluar sana yang aku cinta?" Papa mengulang alasannya yang dulu telah berulang kali dilontarkannya.

"Tapi ternyata pilihan itu lebih baikkan, dari pada kamu meninggalkannya? Lihat, apa yang terjadi sekarang dengan May dan lihat akibatnya kamu tidak menikahinya. Apa itu kasih sayang mu terhadap May?!" Papa menggigit bibirnya kuat-kuat . Perasaan ini lebih menyakitkan dari apa pun, perasaan bersalah adalah beban yang sulit untuk dipikul Papa. "Jadi apa yang kau minta dariku?!" tanya Dokter Heryanto lantang. Teringat kedatangan Papa yang ingin minta pertolongannya.

"Tolong anak saya Pa, hanya Papa yang bisa menyelamatkannya. Bantulah saya kali ini. Sekali ini saja Pa. Karena kalau papa tidak segera menolongnya...dia..." tak kuasa menahan kesedihan yang diderita, Papa menangis teringat bagaimana sang buah hati terkulai lemas tak berdaya di rumah sakit. Dan hal itu membuat Dokter Heryanto tambah geram, cemburu juga iri. Ternyata benar apa yang dikatakan bekas calon mantu kesayangannya itu bahwa dia lebih mencintai orang lain ketimbang May.

"Kau campakkan anakku dan sekarang memintaku untuk menyelamatkan anakmu?!"
"Anakku tidak berdosa Pa, dia tidak ada sangkut pautnya dengan masalah kita."
"Atas dasar apa aku harus menyelamatkan anakmu sedang anakku sendiri tidak tertolong?" Papa diam. Keadaan jadi hening beberapa saat. Lalu Dokter Heryanto bangkit dari duduknya meninggalkan papa di ruang tamu, kemudian kembali lagi setelah itu dengan membawa map file berwarna merah ditangannya. "Aku akan segera ke Rumah Sakit menangani anakmu, begitu selesai kau tanda-tangani surat perjanjian ini." Katanya sambil menyerahkan map tersebut kepada papa yang terheran-heran. "Aku sudah menyiapkan ini jauh sebelum kau kemari. Aku tau masalah anakmu sejak pertamakali kau ke rumah sakit." Lanjut Dokter Heryanto seperti ingin menyatakan bahwa kehidupan papa tidak lepas dari pantauannya.

Papa membuka map dengan hati gelisah. Firasatnya mengatakan ini pastilah bukan hal yang baik, dan yang buruk akan datang menimpanya. Sorot dendam dan kebencian jelas nampak sejak awal mereka bertatap dimuka pintu tadi. Sebenarnya Papa juga sempat ragu menghancurkan harga dirinya untuk memohon-mohon pada Dokter Heryanto agar mau menolong anaknya, tapi apa boleh buat, sepertinya ini adalah jalan yang tidak ada pilihan lagi.
Cukup lama Papa menelaah setiap perkataan dalam surat tersebut, sambil merenungkan baik-baik sebelum menggariskan tanda-tangannya diatas surat bermaterai itu. Air mata jatuh lagi satu-persatu membasahi surat perjanjian yang dibuat oleh bekas calon mertua, yang dulunya adalah sosok lembut dan penuh kasih. Berbeda dengan yang ada dihadapannya sekarang ini. Sorot kebencian selalu bersinar diatas kelembutannya.

Dada Papa sesak, hatinya sakit luar biasa. Inilah pembalasan setimpal yang harus diterimanya sebagai kenyataan. Tidak begitu jelas saat Papa sedang membubuhkan tandatangannya diatas surat perjanjian yang dimana terdapat dua pihak.
Yaitu pihak pertama, Dokter Heryanto dan pihak kedua Bapak Yohanes. Bahwa pihak pertama akan melakukan operasi terhadap anak bernama Hena, anak dari pihak kedua serta membiayai seluruh administrasi Rumah Sakit jika, pihak kedua setuju dan bersedia menikahi May anak pihak pertama dan juga membantu May memulihkan jiwanya yang tertekan akibat depresi berat.

Mama yang harap-harap cemas dalam penantian, tak melepas pandangannya dari pintu dimana Papa pergi tadi. Namun kekecewaan datang. Pintu itu terbuka lebar, tapi yang kembali bukan Papa, beberapa suster masuk berhamburan membawa masuk peralatan-peralatan medis yang membuat mama merinding. Salah satu dari mereka ada yang menjentik-jentikkan jarum suntik dan menyuntikkan suatu cairan dalam tubuh buah hati hingga dia yang sudah lemas makin tidak berdaya dan akhirnya pingsan.
"Permisi Bu, anak Ibu akan segera dioperasi. Semua telah disiapkan," Ijin salah satu dari mereka sambil membawa keluar buah hati untuk dioperasi.
Mama agak sedikit menjauh dari kerumunan para suster agar mereka lebih leluasa bergerak. Terus mama mengikuti langkah mereka sampai didepan pintu ruang operasi. Mama berdiri terpaku disitu seperti orang bisu, mulut terbuka ingin mengucapkan sesuatu tapi semua tergantung begitu saja, airmata pun berlinang-linang membasahi wajahnya.
"Tolong anak saya Tuhan..." pinta mama, teringat akan Tuhan yang penuh kuasa dan mujizat. Untuk pertamakali dalam sepanjang hidupnya, mama mengatupkan kedua tangannya berdoa dan memanggil nama Tuhan. Entah bisikan dari mana mama tiba-tiba bisa teringat kalau didunia ini ada kuasa dan mujizat yang akan terjadi dalam Tuhan. "Selamatkan anak saya ya Tuhan... kasihanilah kami...selamatkan Hena..." mama terus berdoa, sementara Hena sang buah hati masih mempertaruhkan nyawa dimeja operasi.
Namun papa belum juga muncul, kekecewaan yang teramat sangat melanda mama. 'meskipun papa sudah mengambil keputusan itu, setidaknya temanilah aku sebentar disini pa...aku bingung, stres dan hampir gila...' batin mama pilu. Perasaannya bercampur-aduk. Kesepian merayap dihatinya, dia merasa tidak ada pegangan dan tumpuan hidup.
Disatu sisi dia harus tegar dan rela melepas kepergian papa, disatu sisi dia masih harap-harap cemas dengan hasil operasi Hena. Seandainya operasi Hena tidak berhasil, sia-sialah pengorbanan papa. Tapi mama teringat kembali dengan Tuhan, dan terus mama berdoa hingga operasi Hena selesai dan berhasil. Puji Tuhan. (2b continue)

My created Story (Hena>>>>>2)

BAB I I

Sekujur tubuh mungil itu terus mengeluarkan keringat dingin. Badannya gemetar menahan sakit yang dideranya. Dengan kedua tangan yang basah oleh keringat, si kecil sesekali meremas-remas kepalanya yang serasa seperti bom waktu yang tinggal tunggu waktu akan meledak. Sakitnya luar biasa.

"Pa...Ma...sa...kit..." raung sang buah hati sambil menggeliat-liatkan badan kurusnya.
"Ya ampun Pa, anak kita..." Ratapan sang mama membuat papa semakin bingung dan panik. Air mata yang mulai mengering pun basah lagi, mengalir deras ke pipi. Namun sang Dokter masih jua enggan datang untuk menolong.
"Mama..." erang sang buah hati lagi. Dari ukuran tubuhnya yang kurus dan kecil itu, tidak mungkin dia bertahan dengan sakit tersebut. Tapi ajaib, buah hati masih bisa bertahan.

Ya sayang? Ada apa nak?" tanya sang Mama khawatir dan was-was. Mama tidak tau seberapa sakit yang dirasakan buah hatinya, tapi dia tau anaknya sangat menderita. Dan itu yang membuat mama tidak tega dan ikut menderita.
"Ma..." keluhnya lagi, tidak dapat mengungkapkan sakit yang didera nya.

"Kamu kenapa nak? Sakit? Sabar sayang, Dokter lagi kesini, jadi sabar ya sayang," isak mama makin menjadi-jadi begitu buah hati terlihat lebih lemas lagi. "Pa, anak kita..." Papa hanya dapat tertunduk menenggelamkan wajah basahnya kedalam sepuluh jari-jari yang dingin dan gemetar. Papa malu tidak dapat berbuat apa-apa, karena bukan sang Dokter sedang kemari, tapi enggan kemari...
"Ma, papa pergi panggil beliau. Mama jaga anak kita bentar ya," pamit sang papa sambil bangkit berdiri dengan tekad yang mantap. Tapi mama menatapnya ragu dan takut.
"Tapi Pa..." mama memandang nanar.
"Tenanglah Ma, ini semua untuk anak kita. Aku janji semua akan baik-baik saja." Kata Papa sambil menghapus sisa-sisa air matanya. "Aku janji." Kata Papa lagi menenangkan Mama sebelum dia menggapai pintu untuk pergi. "Semua akan baik-baik aja Ma," janji papa lagi dari balik pintu sebelum dia benar-benar pergi dan mungkin nggak akan kembali...

Benarkah semua akan baik-baik saja seperti yang Papa bilang? Benarkah Papa bisa mengatasi amarah sang Dokter yang sedang mengancamnya dengan sebuah surat perjanjian? Bertambah lagi satu beban mental dalam hati mama. Perasaannya jadi makin nggak karuan, semua kegelisahan, khawatir dan takut jadi satu. Dia melepas Papa dengan hati yang berat beserta firasat yang tidak baik. Mama semakin terpuruk. Pikiran apa saja berkecamuk dalam otaknya. Ingin mama bunuh diri mengakhiri semua dilema ini, tapi bagaimana dengan anaknya? Dia masih membutuhkan seorang mama disaat seperti ini. Lalu mama meletakkan kembali pisau kecil yang ada dalam genggamannya. Mama terisak lagi...

Lama dia menatap pintu dengan pengelihatan yang buram, karena air matanya terus menggelantung pelupuk situ. Harapan akan Papa segera kembali untuik mengurungkan niatnya menemui sang Dokter agar menolong anak mereka terus terbesit didalam hati yang paling dalam. Tapi Papa tak kunjung kembali.

Tapi seandainya Papa kembali tanpa pertolongan dari Sang Dokter, anak mereka tidak akan terselamatkan. Namun... jika anak mereka segera ditangani sang Dokter, dia dan sang buah hati akan kehilangan Papa. Dua pilihan yang mutlak dan tidak dapat ditawar lagi harganya.

Satu minggu yang lalu...
"Karena benturan yang sangat keras menghantam kepalanya, anak kalian mengalami pendarahan dan pembengkakan di otaknya. Ini harus segera dioperasi Pak, kalau saja sedikit terlambat pasien akan mengalami cacat, koma atau bahkan sampai kehilangan nyawanya. Maaf..." Dokter Magna membacakan diagnosa hasil CT-scan otak Buah Hati satu minggu yang lalu sebelum dia dilarikan ke Rumah Sakit.

"Ya ampun Pa, kenapa hal ini harus terjadi pada kita?" tangis Mama saat itu.
"Operasi ini tidak bisa ditunda terlalu lama lagi Pak, Bu, nyawa anak kalian akan lebih terancam jika waktu terus diulur-ulur." Papa diam untuk menenangkan hatinya yang juga sama takutnya seperti Mama. "Jika Bapak dan Ibu siap, saya akan membukakan surat referensi saya ke Rumah sakit Healing juga segera menghubungi Dokter Heryanto untuk menangani anak kalian. Bagaimana?" desak Dokter Magna.

"Dok-ter Heryanto...?" Tanya Papa tersendat. Takutnya aja dia salah mendengar, tapi ternyata benar, dia tak salah dengar. Dokter Heryanto...
"Ya, Dokter dari Rumah Sakit Healing yang terbaik. Beliau Dokter yang kalian butuhkan saat ini." Tegasnya. Papa mencondongkan badannya kedepan untuk memastikan pendengarannya tidak salah lagi.
"Apa tidak ada yang lain lagi Dok...?" Tanya Papa putus asa. Dokter Magna menggeleng perlahan, dan sama putus asa nya.

"Hanya Beliau rekomendasi saya Pak, karena dia lah dokter terbaik saat ini. Maaf jika saya terlalu lancang berbicara, tapi ini soal nyawa yang harus diselamatkan, jadi berikanlah yang terbaik untuk anak kalian... Maaf..."
Papa dan Mama diam seribu bahasa. Mereka saling menatap seakan saling melempar pertanyaan. Bagaimana? Apa yang terbaik untuk dilakukan? Selain biaya yang pasti mereka tidak sanggup, juga... Dokter Heryanto... Apa Dokter itu mau menolong anak mereka?

My created Story (Hena>>>>>1)


BAB I

Rumah kayu kecil yang sudah terlihat sangat tua itu bertambah sumpek dan pengap, dipenuhi asap rokok yang terus dihembuskan Hena dari mulutnya. Sejak tiba dirumah tua milik Hena itu, Lovin sudah merasa sesak sebelum memasukinya. Tapi dipaksakannya saja untuk tetap bertahan demi Hena yang saat ini sedang membutuhkan Lovin, teman satu-satunya sebagai tempat curhat.


"Aku iri denganmu Vin, kau punya segalanya, tidak pernah kekurangan apapun. Nggak pernah orang tua mu membiarkan kau sedih dan sendirian, hidupmu sangat sempurna, Perfect!" Eja Hena yang sedang mengabsen beberapa deret daftar keberuntungan yang dimiliki Lovin.
"Puji Tuhan aku sampai sekarang belum merasa kekurangan apapun Hen. Tapi aku cuma mau kau ingat satu hal penting, kalau materi dan kekayaan bukanlah tolak ukur untuk suatu kebahagiaan. Jangan kau nilai kebahagiaanmu dengan berapa banyak harta yang kau miliki." Nasehat Lovin keberapa kalinya itu. Dan dia nggak pernah bosan mengatakannya.


"Aku maklum kau berkata seperti itu sekarang Vin, karna kau belum pernah mengalami kesulitan seperti aku." Sanggah Hena sambil menghembuskan kuat-kuat asap rokok dan lalu menyeruput kopi susu panasnya. Lovin mengusir asap yang melewatinya dengan mengibas-ngibaskan tangannya keudara.


"Nggak ada lalat kok Vin," kata Hena masih juga belum mengerti kalo Lovin menyuruhnya berhenti merokok.
"Rokok mu itu Hen."


"Sori..." Hena menekan-nekan ujung rokoknya kedalam asbak. "Mungkin kau nggak akan tahan kalo harus menjalani hidup sepertiku Vin." lanjutnya lagi menceritakan keterpurukan hidup yang dialaminya. Dan ini sudah berulang kali Hena mengeluh.
"Sekali lagi Puji Tuhan aku nggak harus mengalami hal seperti kamu untuk bisa mengecap kasih Tuhan."


"Itu karena hidup ini nggak adil. Ada yang dari lahir sudah bahagia, ada yang dari lahir harus berjuang mati-matian untuk kelangsungan hidupnya. Yah seperti aku inilah Vin contohnya, aku harus susah-payah dulu untuk bisa makan dan tidur."
"Jangan bilang hidup ini nggak adil Hen. Coba kau ingat-ingat lagi saat kau masih percaya Tuhan itu sangat sayang pada kita anak-anakNya ini. Bukannya kau sudah merasa bahagia? Sekarang kembalilah percaya pada-Nya Hen, Tuhan itu baik. Dia tau apa yang terindah buat kita." nasehat Lovin masih sabar, padahal sudah beberapakali Lovin mengingatkan hal tersebut.


"Sudahlah, sejak pagi yang kau sebut cuma Tuhan dan Tuhan." Protes Hena mulai kesal.
"Karena kamu harus kembali pada-Nya Hen. Kau butuh pemulihan hati. Nggak bisa selamanya kamu hidup tanpa Tuhan, karena untuk Dialah kita ada didunia ini, untuk Dia..."
"Stop Vin, I'm bored!" potong Hena dan menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangan dan kedua lututnya. Lovin menggeser duduknya mendekati Hena


"Hen..." Lovin memanggil lembut. "Hen..." panggil lovin lagi dan merangkul pundak Hena yang mulai naik-turun. Hena menangis.


"Sejak mama meninggal hidupku hancur. Aku tidak punya siapa-siapa lagi, yang menyayangiku."
"Kamu punya aku Hen, juga papa mu yang masih hidup."
"Bajingan itu bukan siapa-siapa bagiku. Jangan kau sebut dia lagi." Tiba-tiba Hena meraung marah begitu Papa nya disebut. Seperti biasa.


"Hena! Dia itu ayah kandung mu, jangan kau sumpahi orangtua mu sendiri."


"Kalau dia bukan bajingan lalu dia itu apa?! Papa macam apa yang pergi begitu saja sewaktu lagi anaknya sekarat?" berang Hena. "Sejak dia pergi, hidup mama pun juga hancur sampai dia meninggal. Apa aku harus bangga Vin punya papa yang seperti itu? Apa aku nggak layak protes atas hidupku yang dari umur tujuh belas tahun sudah berjuang sendirian mempertahankan hidupku sampai sekarang, diumurku dua puluh tujuh tahun ini. And see? Hidupku masih morat-marit mencari sesuap nasi." Entah dia protes kepada siapa, yang pasti dia benar-benar bosan dan kesal atas penderitaan yang dia alami, dan itu tak kunjung membaik saat dia sering ke Gereja pun. Sekarang, layaknya orang yang sedang demo, Hena hendak meninggalkan Tuhan. Mogok ke Gereja. Kebencian terhadap Papa pun mulai membara kembali. Entah kenapa semua sakit hati yang dulu pernah terkubur kini terungkap lagi.


"Beberapa tahun ini dia juga sudah mengajakmu tinggal sama dia kan? Mungkin kalau saja kamu setuju dan tinggal sama dia hidupmu pasti jauh lebih baik. Tapi karena dendam, kamu tolak semua tawarannya." Lovin mencoba mengingatkan kembali niatan baik dari Papanya yang sering memohon-mohon pada anaknya sendiri supaya mau tinggal bersamanya. Namun semua itu ditolak karena prasangka buruk terhadap papanya belum berubah.
"Aku nggak butuh dia sama sekali. Apa pun bentuknya."
"Tapi bagaimana pun kamu menolaknya, dia tetap papa kamu. Selamanya." Tegas Lovin.


"Sudah kukatakan dia bukan siapa-siapa bagiku." Seperti biasa, selalu ada perdebatan sengit jika masalahnya sudah menyangkut Papa Hena. Seolah orangtua itu adalah musuh terbesarnya, dan dia tidak dapat melepaskan pengampunan untuk sang Papa.
"Hen, jangan biarkan dendam dan pembalasan makin merasukimu. Dendam dan pembalasan itu utuh milik Tuhan semata, kita tidak berhak akan hal itu. Yang perlu kita lakukan adalah mengampuni agar kita diampuni."


"Pulanglah Vin, aku malas mendengarkan khotbah-khotbah-mu itu lagi. Semuanya bulshit! Dan kamu, kamu sebenarnya nggak pernah ngerti apa yang aku rasakan." Usir Hena, tapi Lovin tidak segera pergi. Dia juga nggak marah dan tersinggung, karna dia tau Hena bukan benar-benar menyuruhnya pergi, Hena masih butuh seseorang yang menemaninya. Dia kesal dan meledak-ledak jika pembicaraan mengarah kepada Papa nya. Kasihan dia, sebenarnya Hena cuma merasa sendiri dalam hidupnya, dia kesepian. Dia butuh kasih sayang keluarga yang selalu dimiliki Lovin.


"Serahkan semua beban kamu kepada Tuhan Hen, dengan kasihNya Dia akan turun tangan menolongmu jika kamu mengangkat tangan. Tetaplah dijalanNya, karena Dia-lah penolongmu satu-satunya. Lepaskan pengampunan untuk orangtua-mu." Kemudian Lovin menarik napas panjang dan membuangnya perlahan-lahan. "Dulu malah aku yang belajar banyak dari kau caranya mencintai Tuhan dan melayani-Nya. Tapi sekarang, kok dalam keterpurukan begini kau malah ingin lari dari Penyelamatmu? Lupa kah kau pada kasih yang sudah Dia beri ke kamu? Dulu, kau sering bilang sangat bahagia akhirnya menemukan kasih sejati. Tapi, lihat kau yang sekarang? Semua seolah-olah hanya mimpi." Tidak pernah jemu Lovin selalu mengingatkan hal itu.


"Tuhan juga melupakanku. Ia lupa kalo masih ada anak-Nya yang butuh...


"Nah! Anak! Kau masih ingat kan kalau kau adalah anak Tuhan? Hen, Dia yang disurga tidak pernah melupakan, apalagi sampai meninggalkan kita. Kadang kitanya aja yang kurang peka dengan..."


"STOP!" potong Hena benar-benar kesal dan muak. Belum tuntas masalah dengan Papa, sekarang Lovin mulai mencampur-baurkan hal lain lagi tentang Tuhan dan Juru selamat.
"Hena!"
"I said stop!" teriak Hena histeris sembari menutup kedua telinganya dan lari masuk kekamar lalu mengunci pintu itu rapat-rapat. Dia benar-benar muak atas segalanya. Dia muak dengan segala derita yang nggak pernah habis di hidupnya. Dia bosan dengan yang namanya cobaan, dan dia sungguh jemu menjalani semua itu. Imannya sudah tak bisa berdiri tegak.


Lovin menarik napas panjang kembali. Dia duduk termenung seorang diri dikursi tamu. Bingung hendak berbuat apalagi untuk Hena agar sahabatnya itu mau sadar dan bertobat. Segala cara telah dicoba, tapi sakit hati yang dulu malah terkoyak kembali, semua sakit hati dan dendamnya malah seperti bensin yang diberi api.
Terlebih saat ini seolah-olah Hena ingin hitung-hitungan dengan Tuhan. Berapa banyak penderitaan yang ia alami dan seberapa banyak Tuhan menolongnya. Namun Lovin tidak berhenti mendoakan sahabatnya, karna dia tau Tuhan selalu memberi sesuatu yang berhikmah atas setiap kejadian dalam hidup manusia.


Dengan seluruh kekuatan yang dia punya, Lovin terus membawa nama Tuhan dalam setiap perdebatan mereka agar Hena kembali percaya bahwa Tuhan selalu ada dalam setiap persoalan. Sekalipun tidak pernah dibiarkanNya kita jatuh dan tidak dapat berdiri lagi. Tuhan pasti menopang kita.


'semua pencobaan pasti ada jalan keluarnya Hen, Tuhan dengan kasih setia-Nya kan membawa kita pada jalan itu. Tinggal bagaimana kita tetap terus berdoa dan percaya bahwa Tuhan pasti menolong kita' Lovin memasukkan selembaran memo yang ditulisnya itu ke celah bawah pintu kamar Hena, lalu pergi. (2b continue)