Sunday, October 12, 2008

My created Story (Hena>>>>>1)


BAB I

Rumah kayu kecil yang sudah terlihat sangat tua itu bertambah sumpek dan pengap, dipenuhi asap rokok yang terus dihembuskan Hena dari mulutnya. Sejak tiba dirumah tua milik Hena itu, Lovin sudah merasa sesak sebelum memasukinya. Tapi dipaksakannya saja untuk tetap bertahan demi Hena yang saat ini sedang membutuhkan Lovin, teman satu-satunya sebagai tempat curhat.


"Aku iri denganmu Vin, kau punya segalanya, tidak pernah kekurangan apapun. Nggak pernah orang tua mu membiarkan kau sedih dan sendirian, hidupmu sangat sempurna, Perfect!" Eja Hena yang sedang mengabsen beberapa deret daftar keberuntungan yang dimiliki Lovin.
"Puji Tuhan aku sampai sekarang belum merasa kekurangan apapun Hen. Tapi aku cuma mau kau ingat satu hal penting, kalau materi dan kekayaan bukanlah tolak ukur untuk suatu kebahagiaan. Jangan kau nilai kebahagiaanmu dengan berapa banyak harta yang kau miliki." Nasehat Lovin keberapa kalinya itu. Dan dia nggak pernah bosan mengatakannya.


"Aku maklum kau berkata seperti itu sekarang Vin, karna kau belum pernah mengalami kesulitan seperti aku." Sanggah Hena sambil menghembuskan kuat-kuat asap rokok dan lalu menyeruput kopi susu panasnya. Lovin mengusir asap yang melewatinya dengan mengibas-ngibaskan tangannya keudara.


"Nggak ada lalat kok Vin," kata Hena masih juga belum mengerti kalo Lovin menyuruhnya berhenti merokok.
"Rokok mu itu Hen."


"Sori..." Hena menekan-nekan ujung rokoknya kedalam asbak. "Mungkin kau nggak akan tahan kalo harus menjalani hidup sepertiku Vin." lanjutnya lagi menceritakan keterpurukan hidup yang dialaminya. Dan ini sudah berulang kali Hena mengeluh.
"Sekali lagi Puji Tuhan aku nggak harus mengalami hal seperti kamu untuk bisa mengecap kasih Tuhan."


"Itu karena hidup ini nggak adil. Ada yang dari lahir sudah bahagia, ada yang dari lahir harus berjuang mati-matian untuk kelangsungan hidupnya. Yah seperti aku inilah Vin contohnya, aku harus susah-payah dulu untuk bisa makan dan tidur."
"Jangan bilang hidup ini nggak adil Hen. Coba kau ingat-ingat lagi saat kau masih percaya Tuhan itu sangat sayang pada kita anak-anakNya ini. Bukannya kau sudah merasa bahagia? Sekarang kembalilah percaya pada-Nya Hen, Tuhan itu baik. Dia tau apa yang terindah buat kita." nasehat Lovin masih sabar, padahal sudah beberapakali Lovin mengingatkan hal tersebut.


"Sudahlah, sejak pagi yang kau sebut cuma Tuhan dan Tuhan." Protes Hena mulai kesal.
"Karena kamu harus kembali pada-Nya Hen. Kau butuh pemulihan hati. Nggak bisa selamanya kamu hidup tanpa Tuhan, karena untuk Dialah kita ada didunia ini, untuk Dia..."
"Stop Vin, I'm bored!" potong Hena dan menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangan dan kedua lututnya. Lovin menggeser duduknya mendekati Hena


"Hen..." Lovin memanggil lembut. "Hen..." panggil lovin lagi dan merangkul pundak Hena yang mulai naik-turun. Hena menangis.


"Sejak mama meninggal hidupku hancur. Aku tidak punya siapa-siapa lagi, yang menyayangiku."
"Kamu punya aku Hen, juga papa mu yang masih hidup."
"Bajingan itu bukan siapa-siapa bagiku. Jangan kau sebut dia lagi." Tiba-tiba Hena meraung marah begitu Papa nya disebut. Seperti biasa.


"Hena! Dia itu ayah kandung mu, jangan kau sumpahi orangtua mu sendiri."


"Kalau dia bukan bajingan lalu dia itu apa?! Papa macam apa yang pergi begitu saja sewaktu lagi anaknya sekarat?" berang Hena. "Sejak dia pergi, hidup mama pun juga hancur sampai dia meninggal. Apa aku harus bangga Vin punya papa yang seperti itu? Apa aku nggak layak protes atas hidupku yang dari umur tujuh belas tahun sudah berjuang sendirian mempertahankan hidupku sampai sekarang, diumurku dua puluh tujuh tahun ini. And see? Hidupku masih morat-marit mencari sesuap nasi." Entah dia protes kepada siapa, yang pasti dia benar-benar bosan dan kesal atas penderitaan yang dia alami, dan itu tak kunjung membaik saat dia sering ke Gereja pun. Sekarang, layaknya orang yang sedang demo, Hena hendak meninggalkan Tuhan. Mogok ke Gereja. Kebencian terhadap Papa pun mulai membara kembali. Entah kenapa semua sakit hati yang dulu pernah terkubur kini terungkap lagi.


"Beberapa tahun ini dia juga sudah mengajakmu tinggal sama dia kan? Mungkin kalau saja kamu setuju dan tinggal sama dia hidupmu pasti jauh lebih baik. Tapi karena dendam, kamu tolak semua tawarannya." Lovin mencoba mengingatkan kembali niatan baik dari Papanya yang sering memohon-mohon pada anaknya sendiri supaya mau tinggal bersamanya. Namun semua itu ditolak karena prasangka buruk terhadap papanya belum berubah.
"Aku nggak butuh dia sama sekali. Apa pun bentuknya."
"Tapi bagaimana pun kamu menolaknya, dia tetap papa kamu. Selamanya." Tegas Lovin.


"Sudah kukatakan dia bukan siapa-siapa bagiku." Seperti biasa, selalu ada perdebatan sengit jika masalahnya sudah menyangkut Papa Hena. Seolah orangtua itu adalah musuh terbesarnya, dan dia tidak dapat melepaskan pengampunan untuk sang Papa.
"Hen, jangan biarkan dendam dan pembalasan makin merasukimu. Dendam dan pembalasan itu utuh milik Tuhan semata, kita tidak berhak akan hal itu. Yang perlu kita lakukan adalah mengampuni agar kita diampuni."


"Pulanglah Vin, aku malas mendengarkan khotbah-khotbah-mu itu lagi. Semuanya bulshit! Dan kamu, kamu sebenarnya nggak pernah ngerti apa yang aku rasakan." Usir Hena, tapi Lovin tidak segera pergi. Dia juga nggak marah dan tersinggung, karna dia tau Hena bukan benar-benar menyuruhnya pergi, Hena masih butuh seseorang yang menemaninya. Dia kesal dan meledak-ledak jika pembicaraan mengarah kepada Papa nya. Kasihan dia, sebenarnya Hena cuma merasa sendiri dalam hidupnya, dia kesepian. Dia butuh kasih sayang keluarga yang selalu dimiliki Lovin.


"Serahkan semua beban kamu kepada Tuhan Hen, dengan kasihNya Dia akan turun tangan menolongmu jika kamu mengangkat tangan. Tetaplah dijalanNya, karena Dia-lah penolongmu satu-satunya. Lepaskan pengampunan untuk orangtua-mu." Kemudian Lovin menarik napas panjang dan membuangnya perlahan-lahan. "Dulu malah aku yang belajar banyak dari kau caranya mencintai Tuhan dan melayani-Nya. Tapi sekarang, kok dalam keterpurukan begini kau malah ingin lari dari Penyelamatmu? Lupa kah kau pada kasih yang sudah Dia beri ke kamu? Dulu, kau sering bilang sangat bahagia akhirnya menemukan kasih sejati. Tapi, lihat kau yang sekarang? Semua seolah-olah hanya mimpi." Tidak pernah jemu Lovin selalu mengingatkan hal itu.


"Tuhan juga melupakanku. Ia lupa kalo masih ada anak-Nya yang butuh...


"Nah! Anak! Kau masih ingat kan kalau kau adalah anak Tuhan? Hen, Dia yang disurga tidak pernah melupakan, apalagi sampai meninggalkan kita. Kadang kitanya aja yang kurang peka dengan..."


"STOP!" potong Hena benar-benar kesal dan muak. Belum tuntas masalah dengan Papa, sekarang Lovin mulai mencampur-baurkan hal lain lagi tentang Tuhan dan Juru selamat.
"Hena!"
"I said stop!" teriak Hena histeris sembari menutup kedua telinganya dan lari masuk kekamar lalu mengunci pintu itu rapat-rapat. Dia benar-benar muak atas segalanya. Dia muak dengan segala derita yang nggak pernah habis di hidupnya. Dia bosan dengan yang namanya cobaan, dan dia sungguh jemu menjalani semua itu. Imannya sudah tak bisa berdiri tegak.


Lovin menarik napas panjang kembali. Dia duduk termenung seorang diri dikursi tamu. Bingung hendak berbuat apalagi untuk Hena agar sahabatnya itu mau sadar dan bertobat. Segala cara telah dicoba, tapi sakit hati yang dulu malah terkoyak kembali, semua sakit hati dan dendamnya malah seperti bensin yang diberi api.
Terlebih saat ini seolah-olah Hena ingin hitung-hitungan dengan Tuhan. Berapa banyak penderitaan yang ia alami dan seberapa banyak Tuhan menolongnya. Namun Lovin tidak berhenti mendoakan sahabatnya, karna dia tau Tuhan selalu memberi sesuatu yang berhikmah atas setiap kejadian dalam hidup manusia.


Dengan seluruh kekuatan yang dia punya, Lovin terus membawa nama Tuhan dalam setiap perdebatan mereka agar Hena kembali percaya bahwa Tuhan selalu ada dalam setiap persoalan. Sekalipun tidak pernah dibiarkanNya kita jatuh dan tidak dapat berdiri lagi. Tuhan pasti menopang kita.


'semua pencobaan pasti ada jalan keluarnya Hen, Tuhan dengan kasih setia-Nya kan membawa kita pada jalan itu. Tinggal bagaimana kita tetap terus berdoa dan percaya bahwa Tuhan pasti menolong kita' Lovin memasukkan selembaran memo yang ditulisnya itu ke celah bawah pintu kamar Hena, lalu pergi. (2b continue)

No comments: