Sunday, October 12, 2008

My created Story (Hena>>>>>2)

BAB I I

Sekujur tubuh mungil itu terus mengeluarkan keringat dingin. Badannya gemetar menahan sakit yang dideranya. Dengan kedua tangan yang basah oleh keringat, si kecil sesekali meremas-remas kepalanya yang serasa seperti bom waktu yang tinggal tunggu waktu akan meledak. Sakitnya luar biasa.

"Pa...Ma...sa...kit..." raung sang buah hati sambil menggeliat-liatkan badan kurusnya.
"Ya ampun Pa, anak kita..." Ratapan sang mama membuat papa semakin bingung dan panik. Air mata yang mulai mengering pun basah lagi, mengalir deras ke pipi. Namun sang Dokter masih jua enggan datang untuk menolong.
"Mama..." erang sang buah hati lagi. Dari ukuran tubuhnya yang kurus dan kecil itu, tidak mungkin dia bertahan dengan sakit tersebut. Tapi ajaib, buah hati masih bisa bertahan.

Ya sayang? Ada apa nak?" tanya sang Mama khawatir dan was-was. Mama tidak tau seberapa sakit yang dirasakan buah hatinya, tapi dia tau anaknya sangat menderita. Dan itu yang membuat mama tidak tega dan ikut menderita.
"Ma..." keluhnya lagi, tidak dapat mengungkapkan sakit yang didera nya.

"Kamu kenapa nak? Sakit? Sabar sayang, Dokter lagi kesini, jadi sabar ya sayang," isak mama makin menjadi-jadi begitu buah hati terlihat lebih lemas lagi. "Pa, anak kita..." Papa hanya dapat tertunduk menenggelamkan wajah basahnya kedalam sepuluh jari-jari yang dingin dan gemetar. Papa malu tidak dapat berbuat apa-apa, karena bukan sang Dokter sedang kemari, tapi enggan kemari...
"Ma, papa pergi panggil beliau. Mama jaga anak kita bentar ya," pamit sang papa sambil bangkit berdiri dengan tekad yang mantap. Tapi mama menatapnya ragu dan takut.
"Tapi Pa..." mama memandang nanar.
"Tenanglah Ma, ini semua untuk anak kita. Aku janji semua akan baik-baik saja." Kata Papa sambil menghapus sisa-sisa air matanya. "Aku janji." Kata Papa lagi menenangkan Mama sebelum dia menggapai pintu untuk pergi. "Semua akan baik-baik aja Ma," janji papa lagi dari balik pintu sebelum dia benar-benar pergi dan mungkin nggak akan kembali...

Benarkah semua akan baik-baik saja seperti yang Papa bilang? Benarkah Papa bisa mengatasi amarah sang Dokter yang sedang mengancamnya dengan sebuah surat perjanjian? Bertambah lagi satu beban mental dalam hati mama. Perasaannya jadi makin nggak karuan, semua kegelisahan, khawatir dan takut jadi satu. Dia melepas Papa dengan hati yang berat beserta firasat yang tidak baik. Mama semakin terpuruk. Pikiran apa saja berkecamuk dalam otaknya. Ingin mama bunuh diri mengakhiri semua dilema ini, tapi bagaimana dengan anaknya? Dia masih membutuhkan seorang mama disaat seperti ini. Lalu mama meletakkan kembali pisau kecil yang ada dalam genggamannya. Mama terisak lagi...

Lama dia menatap pintu dengan pengelihatan yang buram, karena air matanya terus menggelantung pelupuk situ. Harapan akan Papa segera kembali untuik mengurungkan niatnya menemui sang Dokter agar menolong anak mereka terus terbesit didalam hati yang paling dalam. Tapi Papa tak kunjung kembali.

Tapi seandainya Papa kembali tanpa pertolongan dari Sang Dokter, anak mereka tidak akan terselamatkan. Namun... jika anak mereka segera ditangani sang Dokter, dia dan sang buah hati akan kehilangan Papa. Dua pilihan yang mutlak dan tidak dapat ditawar lagi harganya.

Satu minggu yang lalu...
"Karena benturan yang sangat keras menghantam kepalanya, anak kalian mengalami pendarahan dan pembengkakan di otaknya. Ini harus segera dioperasi Pak, kalau saja sedikit terlambat pasien akan mengalami cacat, koma atau bahkan sampai kehilangan nyawanya. Maaf..." Dokter Magna membacakan diagnosa hasil CT-scan otak Buah Hati satu minggu yang lalu sebelum dia dilarikan ke Rumah Sakit.

"Ya ampun Pa, kenapa hal ini harus terjadi pada kita?" tangis Mama saat itu.
"Operasi ini tidak bisa ditunda terlalu lama lagi Pak, Bu, nyawa anak kalian akan lebih terancam jika waktu terus diulur-ulur." Papa diam untuk menenangkan hatinya yang juga sama takutnya seperti Mama. "Jika Bapak dan Ibu siap, saya akan membukakan surat referensi saya ke Rumah sakit Healing juga segera menghubungi Dokter Heryanto untuk menangani anak kalian. Bagaimana?" desak Dokter Magna.

"Dok-ter Heryanto...?" Tanya Papa tersendat. Takutnya aja dia salah mendengar, tapi ternyata benar, dia tak salah dengar. Dokter Heryanto...
"Ya, Dokter dari Rumah Sakit Healing yang terbaik. Beliau Dokter yang kalian butuhkan saat ini." Tegasnya. Papa mencondongkan badannya kedepan untuk memastikan pendengarannya tidak salah lagi.
"Apa tidak ada yang lain lagi Dok...?" Tanya Papa putus asa. Dokter Magna menggeleng perlahan, dan sama putus asa nya.

"Hanya Beliau rekomendasi saya Pak, karena dia lah dokter terbaik saat ini. Maaf jika saya terlalu lancang berbicara, tapi ini soal nyawa yang harus diselamatkan, jadi berikanlah yang terbaik untuk anak kalian... Maaf..."
Papa dan Mama diam seribu bahasa. Mereka saling menatap seakan saling melempar pertanyaan. Bagaimana? Apa yang terbaik untuk dilakukan? Selain biaya yang pasti mereka tidak sanggup, juga... Dokter Heryanto... Apa Dokter itu mau menolong anak mereka?

No comments: