Wednesday, May 16, 2012

Lucky Star

BAB IV


Seperti biasa, melihat pagarnya saja Sidney sudah eneg! Tapi karena Hermon memastikan semua akan baik saja, diseretnya langkahnya dengan berat hingga didepan pintu ruang kerja Kakek yang sudah menunggunya didalam.

Nampak sudah wajah menyebalkan yang dulu setiap hari memaki-makinya itu, ingin ia segera beranjak pergi dari sana begitu mulut yang penuh dengan makian itu mulai terbuka, tapi....
"Duduk..." katanya datar tanpa ekspresi.
"Ya, ada apa Opa?" jawab Sidney sama datarnya setelah berhasil duduk di'kursi panas'
"Masih kau kerja ditempat kekasihmu itu?" Kakek memang orang yang to the point kalo berbicara, dia nggak pernah mutar-mutar dulu dan ia paling tidak suka basa basi.
"Iya... Masih," kening Sidney berkerut. Aneh, ini benar-benar aneh... Sejak kapan Kakek peduli dimana ia sekarang dan apa yang ia lakukan? Dan darimana ia tau kalau Sidney membantu Hermon dikantornya?
"Berhentilah kerja disana." Pinta Kakek masih datar.
"Eee... Emangnya kenapa?" jawab Sidney salah tingkah tidak tahu cara menaggapi omongan Kakek.
"Kau kekantor Opa, kerjalah disana," Tambah berkerut kening Sidney tanpa bisa memahami apa yang sedang terjadi dalam hati Kakek saat ini.
"Ma-af Opa, aku masih ingin bekerja disana..."
"Berapa gaji kau disana, Opa bisa melipatgandakannya"
"Thank you, but that's not the problem, I..."
"kalau begitu, kekantorlah besok." Desak Kakek tanpa mendengarkan alasan Sidney lebih lanjut.
"Wait... I wanna ask you something Opa..." Sidney menghela napas sependek mungkin sebelum Kakek memotong dan keburu mendesaknya lagi. "Don't you... Ah apa Opa tidak ta-kut kalau saja aku bisa membuat perusahaan Opa jatuh bangkrut?" sebenarnya dia malas mempertanyakan hal ini, tapi dia hanya nggak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi? Dulu, dekatnya saja Kakek bisa alergi, seperti berdekatan dengan virus berbahaya. Dalam radius dua meter pokoknya dia harus menjauh dari Kakek. Nah sekarang? Apa yang terjadi sekarang? Mengapa Kakek mau berdekatan dengan virus berbahaya ini?
"Bekerjalah untuk Opa," pinta Kakek seolah tidak mendengar apa yang baru disampaikan cucunya.
"Apa... Apa Opa sadar sedang berbicara pada Sisi? Sidney? Langit Sidney?" Jelas Sidney menyebut nama lengkap pemberian dari Oma itu, supaya Opa sadar dia sedang berbicara dengan siapa.
"Bantu Opa dikantor." Ulang Kakek sama sekali tidak menghiraukan kegelisahan Sidney. Dia sama sekali tidak menggubris pancingan Sidney untuk membahas 'bintang kegelapan' yang dulu pasti menjadi tema yang sangat menarik untuk Kakek perbincangkan. "Pacarmu itu masih diluar?" Tanya Kakek setelah cukup lama membiarkan cucunya larut dalam alamnya sendiri. "Panggil dia kemari," Dulu, saat Hermon berkunjung kerumah melihatnya saja Kakek enggan. Masih jelas dalam ingatan pertamakalinya Hermon memperkenalkan diri dan menyapa Kakek. jangankan tersenyum, menengoknya saja ia tidak mau. Baginya berkenalan dengan kekasih cucunya adalah hal yang tiada berarti dan sia-sia.

Seperti terhipnotis, ibarat robot yang diberi chip dalamnya, serta merta Sidney berjalan keluar pintu dan menuju ruang tamu untuk memanggil kekasihnya itu untuk bertemu Kakek.

"Selamat malam Opa..." Sapa Hermon sopan. Dulu pernah Hermon menyapanya persis sama seperti itu. 'Nama saya Abraham Putra Langit. Sebut saja salah satu dari nama itu asal jangan kau panggil aku Opa karna saya bukanlah siapa-siapamu.' itu dulu jawaban yang diterima Hermon.
"Duduk..." sahut Kakek menunjuk sofa disebelah Sidney. Opa seperti orang yang terkena amnesia yang lupa jati dirinya. Sebelumnya, dia menganggap dirinya begitu terhormat, termegah, agung dan tak tertandingi hingga semua orang tidak boleh sembarang menyapanya.
"Ya, ada apa Opa?" Hermon pun sedikit terperangah melihat perangai Opa malam ini. Tapi dia berusaha senetral mungkin.
"Ijinkan Sisi membantuku dikantor" Hermon sedikit membuka mulutnya, dia tercengang. Kini pikirannya sama seperti yang ada dipikiran Sidney. Abraham Putra Langit kah ini yang ada dihadapannya? Ini mustahil dan sulit sekali dipercaya. Benarkah Kakek mau Sidney masuk dalam perusahaan besarnya? Tidak kah dia ragu? Bukannya dia sendiri yang meng-create si 'bintang kegelapan' atau si pembawa sial dalam diri Sidney?
"A... Eee.... I-itu terserah pada Sisi Opa..." Hermon tak sanggup menutupi kegugupannya.
"Kau beri dia ijin?"
"Keputusannya ada ditangan dia sendiri, Opa..." Serta merta Sidney mendelik dan mengarahkan pandangannya yang tajam ke Hermon. Dia pikir pastilah Hermon akan mempertahankan dia dikantor dan nggak akan biarkan dia terperosok dalam lubang buaya, yang buayanya kini tidak buas lagi.



Thursday, May 10, 2012

Lucky Star

BAB III


Meeting telah usai, anggota yang lain telah meninggalkan ruangan sejak tadi. Bahkan, beberapakali office boy yang hendak membersihkan ruangan tidak jadi masuk begitu melihat Sidney masih duduk termangu disudut ruangan sana. Mereka pikir akan ada meeting lanjutan, tapi sudah satu jam berlalu, nggak ada dewan atau anggota lainnya yang kunjung datang. Hendak menegur dan menanyakan langsung pada Sidney, tapi ia sungkan karna begitu larutnya Sidney dalam lamunan.


"Si, apa yang kau buat disini?! Aku pikir kau sudah ada diruang kerjaku" tegur bapak direktur mengagetkan Sidney yang kontan jadi blingsatan dan gugup. Rupanya sudah sejak meeting usai tadi pak direktur menunggu laporan hasil meeting yang dipegang sekretarisnya untuk diserahkan, tapi orangnya nggak muncul-muncul.


"Hah?! Oh ma-af Mo... Eh, pak..." Sidney gelagapan, seperti maling yang ketangkap basah.
"Keruanganku sekarang." perintah Pak direktur.


Dengan langkah sedikit diseret, Sidney malas-malasan mengekori langkah sang direktur yang lebar-lebar. Sengaja diperlambatnya langkahnya sambil memikirkan alasan mengapa dia sama sekali nggak konsen dalam kerjanya hari ini.


"Nah, sekarang ceritakan padaku mengapa sejak meeting tadi kau tidak focus?"

"A-aku... Aku tidak apa-apa kok," Sidney berusaha menutupi. Rasanya dia belum siap aja menceritakan kegelisahannya beberapa hari ini, sejak kepulangan kakek dari negara Sidney.
"Kalau begitu, coba sekali lagi kau presentasikan hasil meeting tadi." Sidney membeku... Cilaka! Pak direktur selalu tau kalau dia sedang berbohong, ataukah dia yang kurang pandai berakting? Entahlah....
"A-aku cuma ga enak badan aja, bo-bolehkah aku ijin pulang?" Sidney berharap bisa mengindari desakan berikutnya, agar dia tidak perlu menceritakan panjang kali lebar kegelisahannya beberapa hari ini, karna dia lagi malas untuk bercerita. Tapi tangan pak direktur lebih cepat bergerak sampai kejidatnya. Ketahuan bohong lagi deh!
"Si, kau lupa komitmen kita untuk saling terbuka dan selalu jujur? Satu diantara kita tidak boleh ada kebohongan," lagi-lagi mati kutu. Akhirnya Sidney menyerah, lebih baik dia ceritakan saja daripada berurusan lebih panjang lagi dengan Pak direktur.
"Sori Mon, bukan aku ingin main rahasia-rahasiaan denganmu... Tapi, aku cuma ga mau kamu jadi khawatir. Kerjaanmu banyak dan aku ga mau menambah daftar kesibukanmu dengan urusanku"
"Urusanmu juga sama pentingnya dengan urusanku yang lain, karna kau penting bagiku. Kau sudah jadi bagian dalam hidup aku dan segala masalahmu juga termasuk masalahku. Jadi sekarang katakan..." Sidney menghela napasnya dan membuangnya.
"Opa Mon..." Hermon mengernyitkan keningnya.
"Bukannya Opa ada di Sidney sudah dua bulan terakhir ini? Apa ada sesuatu terjadi dengannya disana?"
"Sudah balik, dan dia baik-baik saja"
"Syukurlah... Kukira ada apa-apa dengannya,"
"Mungkin nanti aku yang ada apa-apanya Mon..."
"Maksud kau?"
"Beberapa hari yang lalu dia menelponku, dan tadi pagi dia menelponku lagi"
"Mau Mengatai kau lagi?"
"Entahlah, dia cuma bilang aku harus kesana malam ini. Ada yang ingin dia sampaikan... Sebenarnya aku malas banget kesana Mon, tapi aku juga jadi penasaran. Nada suaranya berbeda tidak seperti biasanya" Sidney terngiang kembali suara lembut Kakek. 'datanglah...' kata Kakek sebelum menutup telponnya.
"Aku temani kau kesana,"
"Haruskah?"
"Yah kalau kau tidak butuh ak..."
"Bukan, maksudku haruskah kita kesana?"
"Harus."
"Kenapa?"
"Mungkin ada sesuatu terjadi. Makanya dia mengharapkan kau datang,"
"Yakin? Siapa tau aja dia punya cacian yang baru yang lebih seru diomongkan didepan hidungku langsung?"
"Pikiran kau sudah terlalu jauh, Opa bukan anak belasan tahun seperti itu."
"Jadi kita kesana malam ini?" Sidney masih ragu.
"Opa kau bukan harimau yang akan langsung menerkam begitu batang hidung kau keliatan. Tenanglah, jangan hal buruk selalu kau pikirkan. Kita hadap dia malam ini, ok?!"
Sidney mengangguk lemah mengiyakan ajakan bos sekaligus kekasihnya itu.