Wednesday, May 16, 2012

Lucky Star

BAB IV


Seperti biasa, melihat pagarnya saja Sidney sudah eneg! Tapi karena Hermon memastikan semua akan baik saja, diseretnya langkahnya dengan berat hingga didepan pintu ruang kerja Kakek yang sudah menunggunya didalam.

Nampak sudah wajah menyebalkan yang dulu setiap hari memaki-makinya itu, ingin ia segera beranjak pergi dari sana begitu mulut yang penuh dengan makian itu mulai terbuka, tapi....
"Duduk..." katanya datar tanpa ekspresi.
"Ya, ada apa Opa?" jawab Sidney sama datarnya setelah berhasil duduk di'kursi panas'
"Masih kau kerja ditempat kekasihmu itu?" Kakek memang orang yang to the point kalo berbicara, dia nggak pernah mutar-mutar dulu dan ia paling tidak suka basa basi.
"Iya... Masih," kening Sidney berkerut. Aneh, ini benar-benar aneh... Sejak kapan Kakek peduli dimana ia sekarang dan apa yang ia lakukan? Dan darimana ia tau kalau Sidney membantu Hermon dikantornya?
"Berhentilah kerja disana." Pinta Kakek masih datar.
"Eee... Emangnya kenapa?" jawab Sidney salah tingkah tidak tahu cara menaggapi omongan Kakek.
"Kau kekantor Opa, kerjalah disana," Tambah berkerut kening Sidney tanpa bisa memahami apa yang sedang terjadi dalam hati Kakek saat ini.
"Ma-af Opa, aku masih ingin bekerja disana..."
"Berapa gaji kau disana, Opa bisa melipatgandakannya"
"Thank you, but that's not the problem, I..."
"kalau begitu, kekantorlah besok." Desak Kakek tanpa mendengarkan alasan Sidney lebih lanjut.
"Wait... I wanna ask you something Opa..." Sidney menghela napas sependek mungkin sebelum Kakek memotong dan keburu mendesaknya lagi. "Don't you... Ah apa Opa tidak ta-kut kalau saja aku bisa membuat perusahaan Opa jatuh bangkrut?" sebenarnya dia malas mempertanyakan hal ini, tapi dia hanya nggak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi? Dulu, dekatnya saja Kakek bisa alergi, seperti berdekatan dengan virus berbahaya. Dalam radius dua meter pokoknya dia harus menjauh dari Kakek. Nah sekarang? Apa yang terjadi sekarang? Mengapa Kakek mau berdekatan dengan virus berbahaya ini?
"Bekerjalah untuk Opa," pinta Kakek seolah tidak mendengar apa yang baru disampaikan cucunya.
"Apa... Apa Opa sadar sedang berbicara pada Sisi? Sidney? Langit Sidney?" Jelas Sidney menyebut nama lengkap pemberian dari Oma itu, supaya Opa sadar dia sedang berbicara dengan siapa.
"Bantu Opa dikantor." Ulang Kakek sama sekali tidak menghiraukan kegelisahan Sidney. Dia sama sekali tidak menggubris pancingan Sidney untuk membahas 'bintang kegelapan' yang dulu pasti menjadi tema yang sangat menarik untuk Kakek perbincangkan. "Pacarmu itu masih diluar?" Tanya Kakek setelah cukup lama membiarkan cucunya larut dalam alamnya sendiri. "Panggil dia kemari," Dulu, saat Hermon berkunjung kerumah melihatnya saja Kakek enggan. Masih jelas dalam ingatan pertamakalinya Hermon memperkenalkan diri dan menyapa Kakek. jangankan tersenyum, menengoknya saja ia tidak mau. Baginya berkenalan dengan kekasih cucunya adalah hal yang tiada berarti dan sia-sia.

Seperti terhipnotis, ibarat robot yang diberi chip dalamnya, serta merta Sidney berjalan keluar pintu dan menuju ruang tamu untuk memanggil kekasihnya itu untuk bertemu Kakek.

"Selamat malam Opa..." Sapa Hermon sopan. Dulu pernah Hermon menyapanya persis sama seperti itu. 'Nama saya Abraham Putra Langit. Sebut saja salah satu dari nama itu asal jangan kau panggil aku Opa karna saya bukanlah siapa-siapamu.' itu dulu jawaban yang diterima Hermon.
"Duduk..." sahut Kakek menunjuk sofa disebelah Sidney. Opa seperti orang yang terkena amnesia yang lupa jati dirinya. Sebelumnya, dia menganggap dirinya begitu terhormat, termegah, agung dan tak tertandingi hingga semua orang tidak boleh sembarang menyapanya.
"Ya, ada apa Opa?" Hermon pun sedikit terperangah melihat perangai Opa malam ini. Tapi dia berusaha senetral mungkin.
"Ijinkan Sisi membantuku dikantor" Hermon sedikit membuka mulutnya, dia tercengang. Kini pikirannya sama seperti yang ada dipikiran Sidney. Abraham Putra Langit kah ini yang ada dihadapannya? Ini mustahil dan sulit sekali dipercaya. Benarkah Kakek mau Sidney masuk dalam perusahaan besarnya? Tidak kah dia ragu? Bukannya dia sendiri yang meng-create si 'bintang kegelapan' atau si pembawa sial dalam diri Sidney?
"A... Eee.... I-itu terserah pada Sisi Opa..." Hermon tak sanggup menutupi kegugupannya.
"Kau beri dia ijin?"
"Keputusannya ada ditangan dia sendiri, Opa..." Serta merta Sidney mendelik dan mengarahkan pandangannya yang tajam ke Hermon. Dia pikir pastilah Hermon akan mempertahankan dia dikantor dan nggak akan biarkan dia terperosok dalam lubang buaya, yang buayanya kini tidak buas lagi.



Thursday, May 10, 2012

Lucky Star

BAB III


Meeting telah usai, anggota yang lain telah meninggalkan ruangan sejak tadi. Bahkan, beberapakali office boy yang hendak membersihkan ruangan tidak jadi masuk begitu melihat Sidney masih duduk termangu disudut ruangan sana. Mereka pikir akan ada meeting lanjutan, tapi sudah satu jam berlalu, nggak ada dewan atau anggota lainnya yang kunjung datang. Hendak menegur dan menanyakan langsung pada Sidney, tapi ia sungkan karna begitu larutnya Sidney dalam lamunan.


"Si, apa yang kau buat disini?! Aku pikir kau sudah ada diruang kerjaku" tegur bapak direktur mengagetkan Sidney yang kontan jadi blingsatan dan gugup. Rupanya sudah sejak meeting usai tadi pak direktur menunggu laporan hasil meeting yang dipegang sekretarisnya untuk diserahkan, tapi orangnya nggak muncul-muncul.


"Hah?! Oh ma-af Mo... Eh, pak..." Sidney gelagapan, seperti maling yang ketangkap basah.
"Keruanganku sekarang." perintah Pak direktur.


Dengan langkah sedikit diseret, Sidney malas-malasan mengekori langkah sang direktur yang lebar-lebar. Sengaja diperlambatnya langkahnya sambil memikirkan alasan mengapa dia sama sekali nggak konsen dalam kerjanya hari ini.


"Nah, sekarang ceritakan padaku mengapa sejak meeting tadi kau tidak focus?"

"A-aku... Aku tidak apa-apa kok," Sidney berusaha menutupi. Rasanya dia belum siap aja menceritakan kegelisahannya beberapa hari ini, sejak kepulangan kakek dari negara Sidney.
"Kalau begitu, coba sekali lagi kau presentasikan hasil meeting tadi." Sidney membeku... Cilaka! Pak direktur selalu tau kalau dia sedang berbohong, ataukah dia yang kurang pandai berakting? Entahlah....
"A-aku cuma ga enak badan aja, bo-bolehkah aku ijin pulang?" Sidney berharap bisa mengindari desakan berikutnya, agar dia tidak perlu menceritakan panjang kali lebar kegelisahannya beberapa hari ini, karna dia lagi malas untuk bercerita. Tapi tangan pak direktur lebih cepat bergerak sampai kejidatnya. Ketahuan bohong lagi deh!
"Si, kau lupa komitmen kita untuk saling terbuka dan selalu jujur? Satu diantara kita tidak boleh ada kebohongan," lagi-lagi mati kutu. Akhirnya Sidney menyerah, lebih baik dia ceritakan saja daripada berurusan lebih panjang lagi dengan Pak direktur.
"Sori Mon, bukan aku ingin main rahasia-rahasiaan denganmu... Tapi, aku cuma ga mau kamu jadi khawatir. Kerjaanmu banyak dan aku ga mau menambah daftar kesibukanmu dengan urusanku"
"Urusanmu juga sama pentingnya dengan urusanku yang lain, karna kau penting bagiku. Kau sudah jadi bagian dalam hidup aku dan segala masalahmu juga termasuk masalahku. Jadi sekarang katakan..." Sidney menghela napasnya dan membuangnya.
"Opa Mon..." Hermon mengernyitkan keningnya.
"Bukannya Opa ada di Sidney sudah dua bulan terakhir ini? Apa ada sesuatu terjadi dengannya disana?"
"Sudah balik, dan dia baik-baik saja"
"Syukurlah... Kukira ada apa-apa dengannya,"
"Mungkin nanti aku yang ada apa-apanya Mon..."
"Maksud kau?"
"Beberapa hari yang lalu dia menelponku, dan tadi pagi dia menelponku lagi"
"Mau Mengatai kau lagi?"
"Entahlah, dia cuma bilang aku harus kesana malam ini. Ada yang ingin dia sampaikan... Sebenarnya aku malas banget kesana Mon, tapi aku juga jadi penasaran. Nada suaranya berbeda tidak seperti biasanya" Sidney terngiang kembali suara lembut Kakek. 'datanglah...' kata Kakek sebelum menutup telponnya.
"Aku temani kau kesana,"
"Haruskah?"
"Yah kalau kau tidak butuh ak..."
"Bukan, maksudku haruskah kita kesana?"
"Harus."
"Kenapa?"
"Mungkin ada sesuatu terjadi. Makanya dia mengharapkan kau datang,"
"Yakin? Siapa tau aja dia punya cacian yang baru yang lebih seru diomongkan didepan hidungku langsung?"
"Pikiran kau sudah terlalu jauh, Opa bukan anak belasan tahun seperti itu."
"Jadi kita kesana malam ini?" Sidney masih ragu.
"Opa kau bukan harimau yang akan langsung menerkam begitu batang hidung kau keliatan. Tenanglah, jangan hal buruk selalu kau pikirkan. Kita hadap dia malam ini, ok?!"
Sidney mengangguk lemah mengiyakan ajakan bos sekaligus kekasihnya itu.

Tuesday, November 11, 2008

Lucky Star

BAB II

Mau nggak mau hari ini Sidney harus bertemu Kakek. Padahal setelah pergi dari rumah ini setahun yang lalu, Sidney melewati hidup yang cukup damai. Tapi karena besok pagi-pagi harus menyambangi makam keluarga yang ia cintai, hari ini dia terpaksa nginap dirumah Kakek. Sengaja, ia pagi-pagi sekali menyambangi pendopo kecil dibelakang rumah, agar tidak bertemu si tua yang selalu mencelanya. Si tua itu mungkin akan kembali dari luar negri siang hari ini.
Dibelakang istana megah Kakek, ada kebun kecil yang tertata apik dan selalu terawat. Dipojokan kebun sana ada sebuah pendopo asri yang nyaman untuk menaungi foto Nenek, Papa dan Mama.
Sidney mengambil tisu dalam tasnya dan membersihkan foto Mama yang sama sekali tidak berdebu, tapi ia ingin aja rasanya seperti membelai wajah Mama. Lalu ia meletakkan sebuket bunga warna-warni dan mengecup kening Mama penuh rasa kangen. "Happy birthday Mama.... i love you..." ucapnya. Kemudian dia beralih kehadapan foto Papa. "I love you Papa..." setelah itu beringsut kembali kehadapan foto Nenek yang sedang tersenyum manis. "I love you Grand Ma..." ucapnya lagi begitu menaruh sebuket bunga indah.
Ada derapan langkah mendekatinya, Sidney malas berbalik karena dia tau siapa yang sedang menuju kemari. Dipersiapkannya hati untuk mendengar 'firman' yang sebentar lagi akan dikumandangkan Kakek.
"Non Sisi?!!" Sidney kaget, itu suara yang dikenalnya, tapi bukan si tua itu. "Bener ini Non Sisi?!" suara ini sungguh tidak asing.
"Bi Kana?! Bi Kana kan?! Ya Tuhan..." Sidney berdiri dan segera menubruk tubuh renta Bi Kana. Memeluknya erat-erat. "Apa kabar Bi?!"
"Puji Tuhan, sehat Non. Aduh... kangen sekali sama Non..."
"Aku juga. Berkali-kali aku cari kealamat yang Bibi kasih, tapi katanya Bibi pindah ya? Kok nggak kasih kabar?" rajuk sidney.
"Ada, Bibi ada ngirim surat kira-kira delapan bulan yang lalu. Non nggak terima? Pantesan surat Bibi nggak dibales,"
"Oya? Aku nggak tinggal disini lagi Bi..." raut wajah ceria yang tadi langsung sirna. "Udah setahun yang lalu aku pergi." Kata Sidney sambil berbalik memandang satu-persatu foto yang tadi dia kecup.
"Bibi ngerti Non. Sabar ya, Tuhan nggak pernah tutup mata Non. Jadi setiap air mata yang diteteskan anak-Nya pasti diperhitungkan sama Dia."
Bi Kana dulu adalah pengasuh Mama sekaligus sahabat Mama. Mereka terlalu akrab dan Mama menganggap Bi Kana adalah saudaranya. Tentu, saat Mama meninggal dia tak kurang sedihnya dengan Nenek. Maka dari itu ketika Sidney lahir semua kebaikan yang ia terima dari Mama dibalasnya dengan cara sangat menyayangi Sidney. Sampai akhirnya Bi Kana menikah dan harus ikut kemana suaminya membawa.
Terkadang, mendengar masa lalu tentang Mama, ada sedikit kecemburuan dalam hati Sidney. Dulu Mama punya Bi Kana yang menemaninya dan masih punya Nenek yang sangat mencintainya. Nah, Sidney sekarang nggak punya sesiapa kecuali Hermon.
☼☼

Bi Kana membiarkan Sidney tenggelam dalam lamunannya, bukan dia tidak perduli. Tapi dia mengerti, Sidney sama dengan Berlin, Mama-nya. Diam jika sedang sedih, marah atau pun bingung. Namun diam juga yang akan menenangkan mereka. Dan dengan sabar, Bi Kana akan terus menunggui nya.
"Non nggak lelah?" Bi Kana membangunkannya, disaat hari menjelang sore.
"Kenapa ya Opa begitu benci sama aku Bi? Padahal aku satu-satunya keluarga, keturunan yang dia punya." Tanya Sidney tanpa melepas matanya dari foto Mama.
"Kenapa Papi begitu benci sama aku? Itu pertanyaan Berlin dulu, ditempat yang sama. Disini juga. Tapi dulu pendopo ini masih kosong..." Jawab Bi Kana ngambang, sambil mengenang masa lalu.
"Apa jawaban Bibi waktu itu?"
"Sebelumnya...apa Non siap..." Sepertinya Bi Kana ingin mengutarakan semua yang di pendamnya selama ini.
"Aku siap. Yang lebih buruk saja sudah sering aku dengar Bi," ujar Sidney seraya berdiri menyalakan beberapa lampu dikebun, dan memencet sebuah tombol merah dipilar. Bel untuk memanggil salah satu pelayan yang ada dirumah. "Apakah Mama bukan anak kandung Kakek Bi, sampai-sampai..." itu pikiran terburuk yang sempat terlintas dipikiran Sidney. Soalnya, alasan apalagi yang membuat Kakek begitu terhadap Mama dan keturunannya?
"Anak kandung. Bukan anak pungut yang kebanyakan orang bilang." Kakek adalah keturunan konglomerat yang terpandang dikota mereka. Jadi apa pun gerak-gerik keluarga besarnya, sudah pasti banyak menjadi bahan omongan orang kebanyakan.
"Terus, apa yang bikin Op..."
"Permisi..." datang seorang pembantu yang dipanggil Sidney dari bel tadi, memotong pembicaraan yang mulai tegang.
"Opa sudah balik Rin?"
"Belum Non, Tuan baru balik besok lusa. Biasa kan Non, hari Natal gini Tuan lama ke luar negrinya. Non makan malam disini aja yah, sama Bi Kana juga?" tawar Ririn si pembantu itu penuh harap. Rumah ini memang sudah sepi dan dingin, tapi sepeninggal Sidney, rumah istana ini jauh lebih dingin dan sepi lagi. Dulu, untuk memecah kesepian, Sidney kerap membawa semua pembantu dirumah untuk bermasak dan bercanda bersama.
"Makasih Rin, tapi dibawain kesini yah?"
"Baik Non. Beres." Seru Ririn, kegirangan.
"terus Bi, apa yang sebenarnya Opa benci dari aku dan Mama?"
"Baiklah, malam ini akan jadi sangat panjang karena Bibi mau menceritakan semuanya. Non sudah dewasa, waktunya Non untuk tau semuanya."
"Tolong ceritakan Bi,"
"Beliau, anak seorang konglomerat yang terhormat. Martabat dan nama baik keluarga selalu ada diatas kepala mereka. Opa sebagai pewaris tunggal, membuat tabiatnya jelek. Manja, sesuka hati, egois dan memaksakan kehendaknya pada orang lain. Satu hari, beliau mabuk karena kesal Oma menolak menikahinya..."
"Opa mencintai Oma? Bukannya orang bilang mereka dijodohkan?"
"Nggak, Opa sangat-sangat mencintai Oma. Terhadap orang lain bisa dia tidak peduli, tapi terhadap Oma, Opa akan melakukan apa saja. Apa lagi agar Oma menerima pinangannya, Opa menghalalkan segala cara..."
"Memangnya Oma tidak suka dengan Opa, sampai-sampai Opa harus berjuang untuk menikahi Oma?"
"Oma juga cinta sama Opa, tapi yang masih nggak bisa diterimanya, ya tabiat Opa itu. Suka mabuk dan marah-marah."
"Permisi...silahkan makan dulu Non, Bi..."
"Makasih Rin," sahut Bi Kana dan Sidney bersamaan. Lalu mereka berdoa sebentar mengucap syukur atas berkat hari ini dan kemudian melanjutkannya lagi.
"Lalu Bi?" tanya Sidney dengan penuh makanan dimulutnya.
"Banyak pria yang meminang Oma, dan itu makin buat Opa ketakutan kalo Oma akan menikahi pria lain. Akhirnya, saat mabuk berat, Opa memperkosa Oma."
"Klontang...!!" sendok dan garpu berjatuhan dilantai. "Jadi...jadi mama..."
"Kita makan dulu ya, ntar Bibi lanjutkan lagi ceritanya," kata Bi Kana sambil memberi segelas jus pada Sidney yang keliatan syok.
"Aku udah kenyang Bi," Sidney meneteskan air mata dan memungut yang berjatuhan tadi. Dihabiskannya segelas jus sebagai ganti makannya.
"Maaf Bibi harus menceritakan ini sama Non," lanjut Bi Kana juga menyudahi santapannya. "Berlin, mama Non dianggap aib aleh Opa dan meminta Oma mengaborsi janinnya. Tapi Oma menolak dan mengancam, mau anak tetap ada atau dia akan menikahi pria lain."
"Opa menurut?"
"Sperti yang Bibi bilang, Opa melakukan apa saja untuk bisa menikah dengan Oma. Akhirnya mereka menikah, dan saat Berlin berumur dua tahun, Oma mengandung lagi. Opa sungguh luar biasa kegirangan. Sebagai ungkapan bahagianya, Opa hendak menggendong Oma saat menaiki tangga rumah. Tapi malangnya, Opa terpeleset dan Oma keguguran. Sejak itu Dokter mem-vonis Oma sudah nggak bisa mengandung lagi..."
"Opa pasti sangat geram..."
"Pastinya, siapa pun yang ada saat itu jadi kambing hitam dan disalahkan, kecuali dirinya sendiri."
"Opa sangat egois!"
"Itulah dia Non. Didikan super manja malah menghancurkan sisi baik dalam dirinya. Tuan besar emang terlalu ego."
"Aku bisa menebak, pasti setelah itu Mama dianggap membawa sial."
"Persis seperti itulah yang dikatakannya waktu itu."
"Oma sendiri apa pernah menyalahkan kehadiran Mama?"
"Sama sekali tidak. Malah, Berlin seperti pusaka bagi Oma. Dia mengasihi anaknya lebih dari dia mengasihi suaminya."
"Opa pasti makin benci sama Mama."
"Akhirnya, nggak kuat dengan tekanan Opa, Berlin pergi dari rumah dan menikah dengan pria yang mencintainya. Oma jatuh sakit saat Berlin pergi, tapi berkat doa seorang ibu, Berlin pulang dengan membawa janin dalam perutnya. Opa pun masih tidak bersyukur atas kepulangan Berlin malah..."
"Cukup Bi, aku tau kelanjutannya..."
Hari sudah gelap setelah itu, dan Sidney masih menangis dalam pelukan Bi Kana. Ini sangat menyedihkan. Kenapa dia bisa dilahirkan dalam kungkungan emas, tapi tidak membahagiakan sama sekali. Malah mengerikan...
Hidupnya memang berkecukupan, harta berlimpah, tidak pernah kekurangan pangan dan materi. Tapi itu semua tidak ada indahnya jika kehangatan keluarga tidak ada dalam nya. Yang terasa hanya dingin dan kesepian, juga sakit hati yang berakar.

Lucky Star

BAB I

Dibawah langit pekat, angin yang dingin, ditemani beberapa bintang, ada kegalauan tersendiri yang terjadi. Rumah mewah, tapi selalu dingin. Meski ada beberapa orang yang tinggal didalamnya, tapi kesepian tidak pernah pergi dari hati yang beku. Kedinginan dan selalu kesepian.
Sidney diam-diam menghapus air mata yang masih bergelantungan dipelupuk matanya. Tatapannya masih melekat pada wajah sendu yang tertunduk dihadapannya. Setelah malam ini lewat dan hari berganti pagi, mungkin keceriaan tidak akan pernah ada diwajah manis Sidney lagi. Semua kebahagiaan akan pergi bersama wajah sendu yang sama sedihnya dengan dia malam ini.
'Aku juga cinta sama kamu Mon, tapi takdir berkata lain. Aku harus pisah dengan mu sebagai bukti aku benar-benar cinta sama kamu...' batin Sidney pilu, dia nggak bisa mengungkapkan itu semua pada Hermon kekasihnya. 'mungkin aku bisa gila kalau harus pisah sama kamu, tapi apa bisa aku buat? Aku nggak bisa melawan takdir Mon...' tak terasa, tetes lagi air bening itu jatuh ke pipi.
Malam kelewat larut, sudah hampir setengah hari Hermon menunggu jawaban yang pasti. Dia tau, Sidney menutupi sesuatu. Mereka saling mencintai, keduanya pun tau betul itu. Tapi yang membingungkan, kenapa Sidney bersikeras ingin pisah?
"Sudah malam Mon, besok..."
"Nggak besok. Aku tunggu sampai jam berapa pun, sampai kau kasih tau kenapa kau mau hubungan kita putus." Tegas Hermon.
"Sori Mon, aku nggak punya alasan apa-apa lagi untuk menjelaskannya."
"Cukup katakan sejujurnya. Kau nggak usah susah payah berpikir satu kebohongan untuk aku, kau tidak bisa menutupi apa pun didepanku."
"Aku...aku nggak bisa Mon..." desah Sidney putus asa.
"Si, dengarkan aku. Kau cinta sama aku, kau juga tau aku mencintai kau. Jadi kenapa Si, kenapa kau mau pisah sama aku?!" desak Hermon sama putus asa-nya. Dia lelah, nyeri di tangannya pun terasa lagi, mungkin reaksi obat dari Dokter sudah habis, tapi ditahannya nyeri itu sampai ia mendapatkan penjelasan dari Sidney.
"Please Mon..."
"Apa cinta kita dosa?! Dulu memang kita sahabatan, tapi kita menyadari kalo kita saling membutuhkan dan akhirnya kita memutuskan untuk pacaran. Apa itu dilarang?!"
"Bukan itu, aku cuma...nggak mau..." Sidney berhenti lagi, dan Hermon semakin kesal. Setengah hari Sidney selalu menggantung ucapannya. Dan semua ucapannya selalu tidak dimengerti oleh Hermon, sebenarnya apa yang mau Sidney sampaikan, tapi nggak bisa?!
"Kutanya sekali lagi. Masih cinta nggak sama aku?"
"Kau tau jawabannya." Jawab Sidney tertunduk.
"Kalo begitu, cukup sudah bagiku. Aku anggap nggak pernah dengar kata putus dan besok ku jemput seperti biasa. Jam delapan teng!" Hermon segera bangkit berdiri tergesa-gesa dan meraih kunci mobilnya.
"Tunggu Mon. Please... jangan seperti itu,"
"Kuhitung sampai tiga, kalo kau masih belum juga bilang yang sebenarnya..."
"Aku nggak mau kamu lebih celaka lagi Mon. Sekarang baru permulaannya, tangan kau hampir patah, dan apa yang akan terjadi lagi nanti dan..."
"Itu lagi, itu lagi. Cukup Si, beribu kali kujelaskan itu semua nggak ada kaitannya dengan kamu dan ini hanya kecelakaan kecil." Tumpah tangis Sidney.
"Kecelakaan itu ada karena kamu bersama aku, kamu beriringan dengan bintang kegelapan!" tumpah juga amarahnya, bukan marah dengan keadaan atau Hermon. Tapi dirinya sendiri.
Dia marah kenapa dilahirkan kedunia dan membawa gelar bintang kegelapan sejak dilahirkan. Hidup seakan tiada arti. Ingin protes dan marah tapi kepada siapa? Mama meninggal setelah melahirkannya, Papa menyusul saat dia sedang merayakan ulang tahun nya yang ke sepuluh. Nenek yang menyayanginya pun ikut pergi bersama Papa dan Mama. Kakek? Tinggallah kakek satu-satunya keluarga yang tersisa, tapi kakek membencinya. Sangat-sangat membencinya...
"Kamu itu anak pembawa sial dan kematian. Lihat, semua yang mencintaimu mati satu persatu. Kamu itu bintang kegelapan yang turun kebumi untuk menghancurkan orang terdekatmu. Tunggu aja, bentar lagi Opa yang renta ini juga akan mati kena sial mu itu." Kutuk kakek berulang kali. Bahkan, sebelum ia berhasil dilahirkan saja, kakek sudah membencinya.
Hubungan Mama dan Papa nggak disetujui Kakek, Mama pun pergi dari rumah. Menikah dengan orang yang dicintainya dan mengandung. Suatu hari Nenek jatuh sakit, kelelahan mencari anak satu-satunya yang hilang. Akhirnya Mama pulang dengan membawa janin dan suaminya kerumah.
Kakek malah tambah membenci Mama dengan kepulangannya. Pernah, Kakek mencoba membunuh janin Mama dengan ramuan, namun Mama berhasil lolos dari keguguran dan akhirnya lahirlah bayi perempuan cantik. Sidney namanya.
Tapi, apa arti kelahiran itu? Bukankah lebih baik ia mati sewaktu Kakek ingin membunuhnya dulu? Untuk apa juga ia ada didunia ini, hidup diantara segelintir orang yang jauh lebih berguna? Hermon selalu bilang, setiap kelahiran membawa misi tersendiri yang telah Tuhan tetapkan dalam setiap kehidupan. Nah, sekarang misi apa yang Tuhan titipkan pada si 'bintang kegelapan'?
"Si, setiap manusia itu berharga bagi Tuhan. Kita ini ciptaan-Nya yang diberi kuasa lebih dari seluruh makhluk yang ada didunia. Bahkan, iblis saja bisa kita kalahkan dengan kuasa yang dikaruniakan Tuhan atas kita. Jadi Si, dengarkan aku, tidak ada istilah bintang gelap atau pembawa sial dalam hidupmu. Kamu itu ciptaan berharga." Sidney tidak pernah bosan mendengarkan nasehat Hermon yang satu ini. Dengan begitu, dia merasa benar-benar berarti dan tersanjung. Namun... dihadapan kakek, semua kemuliaan arti hidup tadi hanya menjadi sebuah obsesi yang sangat susah dicapai.
"Thanks Mon..." Hermon meraih jemari Sidney yang dingin dan membawa tubuh gadis itu dalam pelukannya.
"Jangan menghina diri kamu lagi Si, karena dengan begitu, kamu merendahkan Pencipta mu yang membuat hidup mu jadi berharga."
Lama setelah itu mereka larut dalam keheningan. Tiba-tiba Sidney menangis lagi, rasanya ia nggak mau hari ini berganti esok. Bukan untuk berpisah dengan Hermon lagi yang dia khawatirkan. Tapi besok Kakek sudah kembali, dan ia akan hidup dalam kepahitan lagi.
"Mon...mau nggak bantu aku supaya aku yakin kalo aku adalah orang yang berguna dan bukan pembawa sial seperti yang Opa bilang,"
"Tanpa kau memintanya aku sudah melakukannya," bisik Hermon lembut.
"Thanks Mon...untuk segalanya. Aku bersyukur Tuhan mengirimkan kau untuk aku. Thanks Mon..." Sidney memeluk Hermon erat.
"Percayalah Si, semua kejadian baik atau buruk itu adalah rahasia alam yang nggak pernah bisa kita tebak. Serahkan semua pada-Nya dan Dia akan memeliharamu."
"Mon, sori. Aku nggak punya something very special yang bisa aku kasih sebagai rasa terimakasih ku."
"Kamu punya cinta."
"Just that."
"Its more than enough."

Thursday, October 30, 2008

My Created Story (Hena>>>>>9) - END

BAB IX

"Vin, kau harus bantu aku kali ini."
"Bukannya juga biasa aku yang membantumu?"
"Jadi mau hitung-hitungan nih?"
"Yah, itu pun kalo kau bisa berhitung Hen,"
"Sialan!" seru Hena melempar bantal kearah Lovin yang lagi asyik dengan game di komputernya. "Mau bantu nggak?! Berhenti dong main game-nya."
"Ada apaan sih?!"
"aku mau menjodohkan papa sama mama May,"
"Bukannya mereka suami-istri?"
"Kau kan tau ceritanya, kenapa pura-pura bego gitu sih! Maksudku aku mau menjodohkan mereka supaya itu-tuh..." kerling Hena.
"Apaan?" tanya Lovin dengan tampang bloon.
"Bloon beneran baru kau tau rasa!"
"Amit-amit!"
"Makanya serius dong!"
"Gini deh Hen," ujar lovin serius sambil mematikan komputernya. "Pada dasarnya kan papa nggak mungkin sekian lama bersama mama May tapi sama sekali nggak ada gimana-gimana. Nah, jadi tinggal bagaimana caranya kita buat perasaan papa itu terungkap."
"Yaelah On, dari tadi yang ku maksud kan emang itu?! Culun!"
Sambil debat, sambil canda Hena dan Lovin terus menyusun strategi termanis juga terindah untuk papa dan mama May sepulang bulan madu mereka yang pertama. Sebelum memutuskan pergi honey moon, papa tau sudah ada sesuatu rasa yang berbeda darinya untuk mama May. Tapi Papa belum berani memastikan. Makanya, Hena terus menempuh segala cara supaya perasaan itu diungkapkan.
Tapi dibalik itu, apa Hena sungguh rela? Cinta papa untuk mama disurga beralih pada mama May, yang sejak dari Hena masih belum dilahirkan sudah sangat mencintai Papa? Waktu yang akan menjawabnya barangkali.
Hena berpikir, perasaan itu sama seperti tanaman. Kalau perasaan buruk terus dipupuk dan dipelihara, maka kepahitan akan tumbuh dan terus berakar. Tapi perasaan yang baik jika terus disirami akan mendatangkan kebahagiaan yang abadi.
Serahkanlah seluruh permasalahan pada-Nya, andalkan Dia karena tanpa kuasa-Nya semua akan sia-sia. Sebaliknya bersama Dia tak ada satu pun yang sulit bagi kita untuk dihadapi, kelemahan kita diubahkan jadi kekuatan. Air mata kita diubahkan jadi suka cita.
Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatan mu (1kor 10:13)
THE END
Jesus Bless U All...

My Created Story (Hena>>>>>8)

BAB VIII

Hena menimbang-nimbang satu keputusan lagi didepan sebuah buket bunga. Apakah cukup dengan menghadiahkan satu buket bunga ini sebagai permintaan maafnya kepada Papa, atau sebaiknya memasakkan sesuatu yang terbaik untuk Papa? Tapi kata Tante May Papa belum boleh makan sesuatu yang bukan dari menu Rumah Sakit.
Minggu lalu Papa sudah sadar dari koma-nya, tapi Dokter menyarankan untuk beristirahat cukup di Ruimah Sakit sampai benar-benar pulih kondisinya. Dan dari semua kejadian ini, Hena terus mengucap syukur tanpa henti pada Tuhan. Semua keajaiban dan mujizat hanya ada dalam nama Yesus, dan Hena jadi mengerti. Benar yang dikatakan Lovin, tidak ada doa yang sia-sia. Tidak ada doa yang tidak didengar Tuhan. Tak kurang panjang tangan Tuhan untuk menolong, tak kurang tajam telinga-Nya tuk mendengar setiap seruan doa ana-anak-Nya.
"Bunganya cantik sekali, untuk pacar ya Kak?!" Pekik seorang bocah cantik yang membangunkan lamunan Hena.
"Kamu suka? Cantik loh, seperti kamu." Goda Hena sambil mencium bunga yang dipegangnya. Lalu ia berjongkok mendekati bocah itu diatas kursi rodanya.
"Kakak juga cantik..."
"Bener?"
"He-eh!" jawab bocah itu mengangguk antusias, menandakan dia nggak sedang berbohong. Kakak benar-benar cantik.
"Karena kamu anak baik, pintar, nggak suka ngibul, Kakak kasih kamu satu kuntum bunga yang paling cantik. Kamu suka yang ini?"
"Semuanya cantik, jadi terserah aja deh dikasih yang mana juga,"
"Nih, dua deh buat anak cantik seperti kamu. Bonus."
"Makasih banget Kak, Kakak tambah cantik deh..."
"Wah, mulai nge-gombal ya?" Hena tertawa.
"He...he... belajar dari Kak Edy..." bisik bocah itu genit. Hena tertawa lagi.
"Ya udah deh, Kakak naik dulu ya. Cepat sembuh ya cantik..."
"Makasih, dadah Kakak...!!!"
Kemudian Hena setengah berlari mengejar lift yang hendak tertutup.
"Makasih," ucapnya pada seorang dokter yang menunggunya dari dalam lift tadi.
"Kamu cantik." Celutuk Dokter muda itu. Nada nya datar, tidak sedang menggoda ataupun merayu. Hena lalu berbalik mencari-cari siapa yang dimaksud dokter tersebut. Tapi mereka hanya berdua dalam lift. Tunggu sebentar, ini ada sesuatu yang janggal. Kenapa semua orang memujinya cantik hari ini? Apa ada sesuatu yang aneh? Diam-diam dia mencuri pandang kearah cermin disampingnya.
"Ya Tuhan!!" pekik Hena kaget mendapati bayangan dirinya dalam cermin tersebut.
"Nggak usah dilepas, kamu cantik dengan bunga itu." Goda si dokter sambil terus memandang wajah Hena yang bersemu merah. Kamu benar cantik kok. Tanpa bunga ditelinga itu sekali pun.
"Mari Dok, saya duluan..." pamit Hena buru-buru keluar dari lift begitu pintunya terbuka.
Terus dia berjalan kencang sambil menundukkan wajahnya. Jantungnya berdebar-debar, malu. Tapi dia gembira.
"Hena!" seru seseorang menghentikan langkah Hena tiba-tiba.
"Eh, Tante? Eh, ya ampun, aku kelewatan ya?" jawab Hena kikuk.
"Kenapa kamu? Sakit?" tanya Tante May khawatir. Memang beberapa hari ini Hena kurang istirahat dan terus dua puluh empat jam mengawasi kondisi papa-nya, sampai benar-benar melewati masa kritis.
"Ah, nggak, nggak sakit kok. Sehat aja. Tante gimana? Eh sori, maksudku Papa gimana?"
"Papa baru makan obat dan belum boleh diganggu." Jawab Tante seadanya, masih dengan alis mengkerutmya. "kamu betul, nggak sakit Hen?" Tante may memastikan.
"Sehat tante. Suer!"
"Ya udah kalo gitu. Kita ngobrol ditaman aja yuk, sambil nunggu Papa kamu bangun."

Dua kali putaran sudah Hena mengelilingi taman di rumah sakit dengan pandangannya. Beberapakali dia menghirup udara segar pagi hari ini bersama perasaannya yang riang dan gembira.
"Capucino Hen? Kesukaan mu kan?"
"Kok tau Tante?" sajut Hena menerima segelas kopi susu kesukaannya.
"Tau aja deh pokoknya," lantas mereka tertawa kecil bersama. Lalu hening. Sesekali mereka saling melempar senyum dan saling memandang. Seperti ada sesuatu yang ingin diutarakan, tapi... entahlah.
"Hen..."
"Ya tante?"
"Hem...kamu..." antara mengutarakannya atau tidak, Tante May masih ragu.
"Ya, Tante?" kata Hena memberitaukan bahwa ia masih menunggu lanjutannya.
"Kamu... pernah membenci tante?" akhirnya pertanyyan yang selama ini ia pendam keluar juga. Dan Tante juga sadar tidak mungkin lagi dia menghindar dari itu semua dengan sengaja tidak membicarakannya.
"Yang aku benci waktu itu bukan Tante, tapi...sudahlah tante. Males ngomongin hal buruk yang sudah lewat. Lagian, puji Tuhan, aku sudah dibebaskan dari perasaan yang dulu."
"Makasih Hen, kamu anak yang baik. Kamu juga terlihat lebih dewasa sekarang."
"Yaiyalah... keturunan Tante. Papa sama Mama kan orang baik, anaknya juga baik dong!" gurau Hena mengalihkan arah pembicaraan. Dia nggak mau terus memikirkan dan membincangkan masa lalu yang baginya adalah mimpi buruk. Yang mau dia hadapi adalah masa depan, dan kebahagiaan yang cukup lama hilang dalam hidupnya.
"Hen...begitu papa sembuh...apa kamu mau tinggal sama kami?"
Hena hampir menangis saking terharunya, ini adalah tawaran yang diidam-idamkannya. Malah, dia pikir setelah sekian tahun dia mengambil sikap memusuhi papa dan tante May, Hena akan tetap hidup seorang diri tanpa Papa dan keluarga meski Papa telah memaafkannya.
"Bo-boleh Hena tanya sesuatu dulu sama Tante?" jawab Hena gugup.
"Kamu boleh tanya apa saja sama tante."
"Tante... rela menerima aku..." Tante May sama terharunya, lama dia merindukan sosok manja seorang anak. Tak kuasa menahan emosinya, Tante May tersenyum manis sambil meneteskan air matanya, lalu dia mengangguk pasti. Pandangan matanya tak dapat menutupi keinginannya untuk memeluk Hena dengan segera.
"Boleh tanya satu hal lagi?" Hena memohon.
"Boleh, tapi lebih dari pada itu kau harus membayar denda. Pertanyaan Tante aja belum kau dijawab." Canda Tante May sambil meraih tisu dalam tasnya.
"Sori tapi sebelumnya, aku ingin tau. Apa... selama ini Tante dan Papa sudah..."
"Dari dulu aku sudah mencintai papa kamu...tapi, dia lebih mencintai dan memilih mama mu." Mata May memerah, basah.
"Maafkan aku Tante," sesal Hena.
"Tante dan Papa belum pernah benar-benar menikah. Dimata hukum, agama, kita memang sah suami-istri. Tapi kenyataannya... kita seperti dua saudara yang tidur dalam satu ranjang..."
"Maafkan aku tante..." Hena benar-benar menyesal mengeluarkan pertanyaan bodoh itu. Hatinya ikut sakit, sama sakitnya sewaktu dia tau papa pergi meninggalkan mama untuk wanita lain.
"Cinta tak dapat dipaksa Hena, dia bisa seketika datang, bisa seketika pergi. Dan saat kita menyambut cinta itu datang, kita juga harus siapkan hati untuk ditinggalkan cinta."
"Sudah Tante, jangan diteruskan lagi...sori aku-aku nggak akan menanyakan hal yang bodoh gini lagi."
"Tapi Tante kagum, cinta dihati Papa kamu tidak mudah sirna. Semoga, begitu dia mulai mencintaiku, dia punya cinta yang sama abadinya ketika dia mencintai mama kamu..." lanjut May menumpahkan seluruh kegundahannya selama ini.
"Tante..." Hena memeluk erat pundak May.
"Kamu pasti bahagia punya papa sama mama yang terbaik didunia. Seandainya aku punya..."
"Tante juga bisa jadi mama terbaik buat Hena, kalo tante rela menerima Hena sebagai anak tante. Aku mau tante..." tanpa panjang kata, tanpa banyak mengeluh lagi, mereka saling berdekapan. May mengecup kening hena beberapakali.
"Terimakasih Hen..."
"Makasih Ma..."

My Created Story (Hena>>>>>7)

BAB VII
Jika waktu dapat berulang kembali, aku bersumpah. Aku tidak akan sebodoh ini. Aku bersumpah nggak akan seperti anak-anak yang tidak mau mencari tau masalah yang sebenarnya. Aku tidak mau menjadi buta hingga aku jatuh kejurang curam, yang padahal semua orang sudah berteriak bahwa bahaya jika aku terus berjalan. Oh betapa bodoh aku yang menjadi tuli karena keegoisanku, hingga aku juga tidak mendengar semua teriakan orang-orang.
"Papa... ini Hena..." bisiknya ditelinga Papa dengan harapan, meskipun Papa dalam keadaan koma bisa merasakan kehadirannya disana. "Ampuni Hena Pa... ampuni anakmu yang durhaka ini. Tolong, tolong jangan tinggalkan Hena... "
Tangan Papa bergerak, dan Hena kontan berteriak pada seisi ruangan. "Papa sadar!" Lalu semua yang menjenguk Papa berkurumun mengelilinginya. Mata Papa sedikit terbuka, lalu menoleh kearah Hena yang beruraian air mata. Papa tersenyum tipis pada Hena, kemudian Papa pingsan lagi dan kembali kealam koma-nya.
Hena histeris, dia meraung sejadi-jadinya. Ketika orang-orang menenangkannya, dia malah meronta ingin membenturkan kepalanya kedinding, dia pikir Papa akan meninggalkannya sendirian, setelah dia sadar ada keluarga yang masih mencintainya. "PAPA...!!!" jeritnya. "Ampuni Hena Pa! Bangun Pa...tolong bangun Pa..." Papa tetap terbaring dengan mata basahnya.
"Tuhan Yesus, tolong bangunkan Papa, jangan buat Papa meninggalkanku dengan penyesalanku. Aku mohon kasihani aku yang berdosa ini Tuhan... sadarkan Papa. Ampuni aku Tuhan, ampuni aku yang terlambat tau dosa yang kulakukan." Doa Hena kemudian. Tidak seberapa lama setelah berdoa, Hena pingsan. Tidak kuat menghadapi situasi buruk yang menimpanya.

Malam menjelang, Hena yang tadi pingsan belum juga sadar. Lovin terus-terusan disampingnya tidak putus mendoakan. Sesekali, didepan kamar ICU Lovin juga mendoakan Papa Hena. Dan malam semakin larut, Lovin tertidur kelelahan di sofa.
Sementara Hena, dalam tidurnya memasuki ruang dingin yang gelap dan hening. Ruang yang kosong, hingga saat dia berlari jauh pun tidak menemukan satu saja titik terang. Bersama ketakutannya, terus saja ia berlari mencari-cari sesuatu yang dapat menolongnya, namun tetap saja semuanya kosong, gelap dan dingin. Hena mulai menangis ketakutan saat tidak ia temukan apa pun meski sudah berlari sangat-sangat jauh, dan ia merasakan kelelahan yang luar biasa.
Dalam ketidakberdayaannya, ia pasrah dengan apa saja yang akan terjadi dalam situ, namun ketika dia memutuskan untuk pasrah, ada seberkas cahaya terang menyinarinya. Semakin terang, dan lebih terang lagi cahaya itu datang. Kedinginan yang ada tadi berubah panas hingga Hena merasa dia akan terbakar dan binasa. Hena menjerit bukan karena sakit, tapi dia ketakutan. Tapi, panas membara itu berangsur padam. Dan begitu panas tadi tidak terasa lagi, tubuhnya berasa ringan. Rasanya semua beban yang digendongnya tadi sudah terjatuh dan lepas dari pundaknya. Hena tersenyum dalam tidurnya, lalu ia terbangun dengan perasaan yang lebih jauh tenang.
"Minum susu ini dulu, kamu sudah lumayan lama tertidur." Hena kenal dengan suaranya, tapi tidak mengenal wajah yang menyodorkannya segelas susu itu. Wajahnya selembut suaranya.
"Hem..." Hena berusaha mengingat-ingat dulu sebelum dia bertanya siapa anda.
"Aku Tante May. Panggil saja May, atau apa aja yang kamu suka." Tante May menjawab arti kerutan di alis Hena. Lalu tersenyum tipis.
"Tante May...?" Hena berusaha mengingat-ingat lagi nama itu, rasanya dia kenal dengan nama itu. Tapi dimana ya...?
"Diminum dulu susu nya, perut kamu kosong benar, nanti kamu malah sakit." Hena hampir menangis mendengarnya, sudah lama dia haus akan kasih sayang begini.
"Oh ya Tante, teman saya..."
"Tante suruh dia pulang bentar untuk istirahat, kasihan dia ikut puasa nungguin kamu sam..."
"Papa! Tante, Papa gimana!?" tiba-tiba teringat bahwa dia ada disini karena Papa.
"Tenang Hen, Papa kamu sudah lewat masa kritisnya. Sekarang nggak boleh diganggu dulu. Lagian... kamu juga baru siuman. Istirahatlah dulu,"
"Makasih Tante untuk semuanya." Keluh Hena menghela napas lega.
"Semuanya?" Tante May berhenti mengupas apel dan memandang Hena. Apa maksud dengan semuanya? Apa Hena sudah tau hubungan antara dia dan Papa? Tapi kenapa justru Hena berterima kasih, bukankah dia marah dan benci...?
"Makasih tante sudah ngabarin kalo Papa dirumah sakit dan... makasih untuk... perhatian Tante... jujur Tante. Aku lama merindukan..."
"Sudahlah, Tante tau apa yang mau kamu katakan." Potong Tante May menyudahi. Ya Tuhan, taukah Hena siapa aku ini? Jika dia tau, mungkinkah dia bisa bersikap manja begini?
"Aku sudah ingat siapa Tante..." ujar Hena datar, setelah beberapa menit mereka sama-sama diam dan mengkaji pikiran masing-masing. Tante May tersenyum kecut, dan dia jadi kikuk tidak tau harus mengambil sikap apa. Diamkah, minta maafkah, atau dia harus menangis atau melempar satu senyum yang penuh penyesalan?
"Maafkan aku sudah merebut Papa kamu..."
"Bukan sepenuhnya salah Tante. Aku sudah tau semua kisah percintaan segitiga antara kalian..." Ganti Hena yang salah tingkah. Tetapkah dia harus tersenyum manis seperti sebelum teringat siapa sosok Tante May, atau berubah dingin, bahkan menghakimi?
"Tapi tetap saja dimata kamu aku yang me..."
"Tante..." potong Hena cepat.
"Ya?" jawab tante May kikuk, matanya berlari-lari saat bertatapan dengan Hena.
"Apel-nya please... aku lapar banget nih..."
Mereka sama-sama tertawa. Ada kebahagiaan lain dalam hati mereka. Dan itu luar biasa indah.