Thursday, October 30, 2008

My Created Story (Hena>>>>>8)

BAB VIII

Hena menimbang-nimbang satu keputusan lagi didepan sebuah buket bunga. Apakah cukup dengan menghadiahkan satu buket bunga ini sebagai permintaan maafnya kepada Papa, atau sebaiknya memasakkan sesuatu yang terbaik untuk Papa? Tapi kata Tante May Papa belum boleh makan sesuatu yang bukan dari menu Rumah Sakit.
Minggu lalu Papa sudah sadar dari koma-nya, tapi Dokter menyarankan untuk beristirahat cukup di Ruimah Sakit sampai benar-benar pulih kondisinya. Dan dari semua kejadian ini, Hena terus mengucap syukur tanpa henti pada Tuhan. Semua keajaiban dan mujizat hanya ada dalam nama Yesus, dan Hena jadi mengerti. Benar yang dikatakan Lovin, tidak ada doa yang sia-sia. Tidak ada doa yang tidak didengar Tuhan. Tak kurang panjang tangan Tuhan untuk menolong, tak kurang tajam telinga-Nya tuk mendengar setiap seruan doa ana-anak-Nya.
"Bunganya cantik sekali, untuk pacar ya Kak?!" Pekik seorang bocah cantik yang membangunkan lamunan Hena.
"Kamu suka? Cantik loh, seperti kamu." Goda Hena sambil mencium bunga yang dipegangnya. Lalu ia berjongkok mendekati bocah itu diatas kursi rodanya.
"Kakak juga cantik..."
"Bener?"
"He-eh!" jawab bocah itu mengangguk antusias, menandakan dia nggak sedang berbohong. Kakak benar-benar cantik.
"Karena kamu anak baik, pintar, nggak suka ngibul, Kakak kasih kamu satu kuntum bunga yang paling cantik. Kamu suka yang ini?"
"Semuanya cantik, jadi terserah aja deh dikasih yang mana juga,"
"Nih, dua deh buat anak cantik seperti kamu. Bonus."
"Makasih banget Kak, Kakak tambah cantik deh..."
"Wah, mulai nge-gombal ya?" Hena tertawa.
"He...he... belajar dari Kak Edy..." bisik bocah itu genit. Hena tertawa lagi.
"Ya udah deh, Kakak naik dulu ya. Cepat sembuh ya cantik..."
"Makasih, dadah Kakak...!!!"
Kemudian Hena setengah berlari mengejar lift yang hendak tertutup.
"Makasih," ucapnya pada seorang dokter yang menunggunya dari dalam lift tadi.
"Kamu cantik." Celutuk Dokter muda itu. Nada nya datar, tidak sedang menggoda ataupun merayu. Hena lalu berbalik mencari-cari siapa yang dimaksud dokter tersebut. Tapi mereka hanya berdua dalam lift. Tunggu sebentar, ini ada sesuatu yang janggal. Kenapa semua orang memujinya cantik hari ini? Apa ada sesuatu yang aneh? Diam-diam dia mencuri pandang kearah cermin disampingnya.
"Ya Tuhan!!" pekik Hena kaget mendapati bayangan dirinya dalam cermin tersebut.
"Nggak usah dilepas, kamu cantik dengan bunga itu." Goda si dokter sambil terus memandang wajah Hena yang bersemu merah. Kamu benar cantik kok. Tanpa bunga ditelinga itu sekali pun.
"Mari Dok, saya duluan..." pamit Hena buru-buru keluar dari lift begitu pintunya terbuka.
Terus dia berjalan kencang sambil menundukkan wajahnya. Jantungnya berdebar-debar, malu. Tapi dia gembira.
"Hena!" seru seseorang menghentikan langkah Hena tiba-tiba.
"Eh, Tante? Eh, ya ampun, aku kelewatan ya?" jawab Hena kikuk.
"Kenapa kamu? Sakit?" tanya Tante May khawatir. Memang beberapa hari ini Hena kurang istirahat dan terus dua puluh empat jam mengawasi kondisi papa-nya, sampai benar-benar melewati masa kritis.
"Ah, nggak, nggak sakit kok. Sehat aja. Tante gimana? Eh sori, maksudku Papa gimana?"
"Papa baru makan obat dan belum boleh diganggu." Jawab Tante seadanya, masih dengan alis mengkerutmya. "kamu betul, nggak sakit Hen?" Tante may memastikan.
"Sehat tante. Suer!"
"Ya udah kalo gitu. Kita ngobrol ditaman aja yuk, sambil nunggu Papa kamu bangun."

Dua kali putaran sudah Hena mengelilingi taman di rumah sakit dengan pandangannya. Beberapakali dia menghirup udara segar pagi hari ini bersama perasaannya yang riang dan gembira.
"Capucino Hen? Kesukaan mu kan?"
"Kok tau Tante?" sajut Hena menerima segelas kopi susu kesukaannya.
"Tau aja deh pokoknya," lantas mereka tertawa kecil bersama. Lalu hening. Sesekali mereka saling melempar senyum dan saling memandang. Seperti ada sesuatu yang ingin diutarakan, tapi... entahlah.
"Hen..."
"Ya tante?"
"Hem...kamu..." antara mengutarakannya atau tidak, Tante May masih ragu.
"Ya, Tante?" kata Hena memberitaukan bahwa ia masih menunggu lanjutannya.
"Kamu... pernah membenci tante?" akhirnya pertanyyan yang selama ini ia pendam keluar juga. Dan Tante juga sadar tidak mungkin lagi dia menghindar dari itu semua dengan sengaja tidak membicarakannya.
"Yang aku benci waktu itu bukan Tante, tapi...sudahlah tante. Males ngomongin hal buruk yang sudah lewat. Lagian, puji Tuhan, aku sudah dibebaskan dari perasaan yang dulu."
"Makasih Hen, kamu anak yang baik. Kamu juga terlihat lebih dewasa sekarang."
"Yaiyalah... keturunan Tante. Papa sama Mama kan orang baik, anaknya juga baik dong!" gurau Hena mengalihkan arah pembicaraan. Dia nggak mau terus memikirkan dan membincangkan masa lalu yang baginya adalah mimpi buruk. Yang mau dia hadapi adalah masa depan, dan kebahagiaan yang cukup lama hilang dalam hidupnya.
"Hen...begitu papa sembuh...apa kamu mau tinggal sama kami?"
Hena hampir menangis saking terharunya, ini adalah tawaran yang diidam-idamkannya. Malah, dia pikir setelah sekian tahun dia mengambil sikap memusuhi papa dan tante May, Hena akan tetap hidup seorang diri tanpa Papa dan keluarga meski Papa telah memaafkannya.
"Bo-boleh Hena tanya sesuatu dulu sama Tante?" jawab Hena gugup.
"Kamu boleh tanya apa saja sama tante."
"Tante... rela menerima aku..." Tante May sama terharunya, lama dia merindukan sosok manja seorang anak. Tak kuasa menahan emosinya, Tante May tersenyum manis sambil meneteskan air matanya, lalu dia mengangguk pasti. Pandangan matanya tak dapat menutupi keinginannya untuk memeluk Hena dengan segera.
"Boleh tanya satu hal lagi?" Hena memohon.
"Boleh, tapi lebih dari pada itu kau harus membayar denda. Pertanyaan Tante aja belum kau dijawab." Canda Tante May sambil meraih tisu dalam tasnya.
"Sori tapi sebelumnya, aku ingin tau. Apa... selama ini Tante dan Papa sudah..."
"Dari dulu aku sudah mencintai papa kamu...tapi, dia lebih mencintai dan memilih mama mu." Mata May memerah, basah.
"Maafkan aku Tante," sesal Hena.
"Tante dan Papa belum pernah benar-benar menikah. Dimata hukum, agama, kita memang sah suami-istri. Tapi kenyataannya... kita seperti dua saudara yang tidur dalam satu ranjang..."
"Maafkan aku tante..." Hena benar-benar menyesal mengeluarkan pertanyaan bodoh itu. Hatinya ikut sakit, sama sakitnya sewaktu dia tau papa pergi meninggalkan mama untuk wanita lain.
"Cinta tak dapat dipaksa Hena, dia bisa seketika datang, bisa seketika pergi. Dan saat kita menyambut cinta itu datang, kita juga harus siapkan hati untuk ditinggalkan cinta."
"Sudah Tante, jangan diteruskan lagi...sori aku-aku nggak akan menanyakan hal yang bodoh gini lagi."
"Tapi Tante kagum, cinta dihati Papa kamu tidak mudah sirna. Semoga, begitu dia mulai mencintaiku, dia punya cinta yang sama abadinya ketika dia mencintai mama kamu..." lanjut May menumpahkan seluruh kegundahannya selama ini.
"Tante..." Hena memeluk erat pundak May.
"Kamu pasti bahagia punya papa sama mama yang terbaik didunia. Seandainya aku punya..."
"Tante juga bisa jadi mama terbaik buat Hena, kalo tante rela menerima Hena sebagai anak tante. Aku mau tante..." tanpa panjang kata, tanpa banyak mengeluh lagi, mereka saling berdekapan. May mengecup kening hena beberapakali.
"Terimakasih Hen..."
"Makasih Ma..."

No comments: