Thursday, October 30, 2008

My Created Story (Hena>>>>>7)

BAB VII
Jika waktu dapat berulang kembali, aku bersumpah. Aku tidak akan sebodoh ini. Aku bersumpah nggak akan seperti anak-anak yang tidak mau mencari tau masalah yang sebenarnya. Aku tidak mau menjadi buta hingga aku jatuh kejurang curam, yang padahal semua orang sudah berteriak bahwa bahaya jika aku terus berjalan. Oh betapa bodoh aku yang menjadi tuli karena keegoisanku, hingga aku juga tidak mendengar semua teriakan orang-orang.
"Papa... ini Hena..." bisiknya ditelinga Papa dengan harapan, meskipun Papa dalam keadaan koma bisa merasakan kehadirannya disana. "Ampuni Hena Pa... ampuni anakmu yang durhaka ini. Tolong, tolong jangan tinggalkan Hena... "
Tangan Papa bergerak, dan Hena kontan berteriak pada seisi ruangan. "Papa sadar!" Lalu semua yang menjenguk Papa berkurumun mengelilinginya. Mata Papa sedikit terbuka, lalu menoleh kearah Hena yang beruraian air mata. Papa tersenyum tipis pada Hena, kemudian Papa pingsan lagi dan kembali kealam koma-nya.
Hena histeris, dia meraung sejadi-jadinya. Ketika orang-orang menenangkannya, dia malah meronta ingin membenturkan kepalanya kedinding, dia pikir Papa akan meninggalkannya sendirian, setelah dia sadar ada keluarga yang masih mencintainya. "PAPA...!!!" jeritnya. "Ampuni Hena Pa! Bangun Pa...tolong bangun Pa..." Papa tetap terbaring dengan mata basahnya.
"Tuhan Yesus, tolong bangunkan Papa, jangan buat Papa meninggalkanku dengan penyesalanku. Aku mohon kasihani aku yang berdosa ini Tuhan... sadarkan Papa. Ampuni aku Tuhan, ampuni aku yang terlambat tau dosa yang kulakukan." Doa Hena kemudian. Tidak seberapa lama setelah berdoa, Hena pingsan. Tidak kuat menghadapi situasi buruk yang menimpanya.

Malam menjelang, Hena yang tadi pingsan belum juga sadar. Lovin terus-terusan disampingnya tidak putus mendoakan. Sesekali, didepan kamar ICU Lovin juga mendoakan Papa Hena. Dan malam semakin larut, Lovin tertidur kelelahan di sofa.
Sementara Hena, dalam tidurnya memasuki ruang dingin yang gelap dan hening. Ruang yang kosong, hingga saat dia berlari jauh pun tidak menemukan satu saja titik terang. Bersama ketakutannya, terus saja ia berlari mencari-cari sesuatu yang dapat menolongnya, namun tetap saja semuanya kosong, gelap dan dingin. Hena mulai menangis ketakutan saat tidak ia temukan apa pun meski sudah berlari sangat-sangat jauh, dan ia merasakan kelelahan yang luar biasa.
Dalam ketidakberdayaannya, ia pasrah dengan apa saja yang akan terjadi dalam situ, namun ketika dia memutuskan untuk pasrah, ada seberkas cahaya terang menyinarinya. Semakin terang, dan lebih terang lagi cahaya itu datang. Kedinginan yang ada tadi berubah panas hingga Hena merasa dia akan terbakar dan binasa. Hena menjerit bukan karena sakit, tapi dia ketakutan. Tapi, panas membara itu berangsur padam. Dan begitu panas tadi tidak terasa lagi, tubuhnya berasa ringan. Rasanya semua beban yang digendongnya tadi sudah terjatuh dan lepas dari pundaknya. Hena tersenyum dalam tidurnya, lalu ia terbangun dengan perasaan yang lebih jauh tenang.
"Minum susu ini dulu, kamu sudah lumayan lama tertidur." Hena kenal dengan suaranya, tapi tidak mengenal wajah yang menyodorkannya segelas susu itu. Wajahnya selembut suaranya.
"Hem..." Hena berusaha mengingat-ingat dulu sebelum dia bertanya siapa anda.
"Aku Tante May. Panggil saja May, atau apa aja yang kamu suka." Tante May menjawab arti kerutan di alis Hena. Lalu tersenyum tipis.
"Tante May...?" Hena berusaha mengingat-ingat lagi nama itu, rasanya dia kenal dengan nama itu. Tapi dimana ya...?
"Diminum dulu susu nya, perut kamu kosong benar, nanti kamu malah sakit." Hena hampir menangis mendengarnya, sudah lama dia haus akan kasih sayang begini.
"Oh ya Tante, teman saya..."
"Tante suruh dia pulang bentar untuk istirahat, kasihan dia ikut puasa nungguin kamu sam..."
"Papa! Tante, Papa gimana!?" tiba-tiba teringat bahwa dia ada disini karena Papa.
"Tenang Hen, Papa kamu sudah lewat masa kritisnya. Sekarang nggak boleh diganggu dulu. Lagian... kamu juga baru siuman. Istirahatlah dulu,"
"Makasih Tante untuk semuanya." Keluh Hena menghela napas lega.
"Semuanya?" Tante May berhenti mengupas apel dan memandang Hena. Apa maksud dengan semuanya? Apa Hena sudah tau hubungan antara dia dan Papa? Tapi kenapa justru Hena berterima kasih, bukankah dia marah dan benci...?
"Makasih tante sudah ngabarin kalo Papa dirumah sakit dan... makasih untuk... perhatian Tante... jujur Tante. Aku lama merindukan..."
"Sudahlah, Tante tau apa yang mau kamu katakan." Potong Tante May menyudahi. Ya Tuhan, taukah Hena siapa aku ini? Jika dia tau, mungkinkah dia bisa bersikap manja begini?
"Aku sudah ingat siapa Tante..." ujar Hena datar, setelah beberapa menit mereka sama-sama diam dan mengkaji pikiran masing-masing. Tante May tersenyum kecut, dan dia jadi kikuk tidak tau harus mengambil sikap apa. Diamkah, minta maafkah, atau dia harus menangis atau melempar satu senyum yang penuh penyesalan?
"Maafkan aku sudah merebut Papa kamu..."
"Bukan sepenuhnya salah Tante. Aku sudah tau semua kisah percintaan segitiga antara kalian..." Ganti Hena yang salah tingkah. Tetapkah dia harus tersenyum manis seperti sebelum teringat siapa sosok Tante May, atau berubah dingin, bahkan menghakimi?
"Tapi tetap saja dimata kamu aku yang me..."
"Tante..." potong Hena cepat.
"Ya?" jawab tante May kikuk, matanya berlari-lari saat bertatapan dengan Hena.
"Apel-nya please... aku lapar banget nih..."
Mereka sama-sama tertawa. Ada kebahagiaan lain dalam hati mereka. Dan itu luar biasa indah.

No comments: