Tuesday, November 11, 2008

Lucky Star

BAB II

Mau nggak mau hari ini Sidney harus bertemu Kakek. Padahal setelah pergi dari rumah ini setahun yang lalu, Sidney melewati hidup yang cukup damai. Tapi karena besok pagi-pagi harus menyambangi makam keluarga yang ia cintai, hari ini dia terpaksa nginap dirumah Kakek. Sengaja, ia pagi-pagi sekali menyambangi pendopo kecil dibelakang rumah, agar tidak bertemu si tua yang selalu mencelanya. Si tua itu mungkin akan kembali dari luar negri siang hari ini.
Dibelakang istana megah Kakek, ada kebun kecil yang tertata apik dan selalu terawat. Dipojokan kebun sana ada sebuah pendopo asri yang nyaman untuk menaungi foto Nenek, Papa dan Mama.
Sidney mengambil tisu dalam tasnya dan membersihkan foto Mama yang sama sekali tidak berdebu, tapi ia ingin aja rasanya seperti membelai wajah Mama. Lalu ia meletakkan sebuket bunga warna-warni dan mengecup kening Mama penuh rasa kangen. "Happy birthday Mama.... i love you..." ucapnya. Kemudian dia beralih kehadapan foto Papa. "I love you Papa..." setelah itu beringsut kembali kehadapan foto Nenek yang sedang tersenyum manis. "I love you Grand Ma..." ucapnya lagi begitu menaruh sebuket bunga indah.
Ada derapan langkah mendekatinya, Sidney malas berbalik karena dia tau siapa yang sedang menuju kemari. Dipersiapkannya hati untuk mendengar 'firman' yang sebentar lagi akan dikumandangkan Kakek.
"Non Sisi?!!" Sidney kaget, itu suara yang dikenalnya, tapi bukan si tua itu. "Bener ini Non Sisi?!" suara ini sungguh tidak asing.
"Bi Kana?! Bi Kana kan?! Ya Tuhan..." Sidney berdiri dan segera menubruk tubuh renta Bi Kana. Memeluknya erat-erat. "Apa kabar Bi?!"
"Puji Tuhan, sehat Non. Aduh... kangen sekali sama Non..."
"Aku juga. Berkali-kali aku cari kealamat yang Bibi kasih, tapi katanya Bibi pindah ya? Kok nggak kasih kabar?" rajuk sidney.
"Ada, Bibi ada ngirim surat kira-kira delapan bulan yang lalu. Non nggak terima? Pantesan surat Bibi nggak dibales,"
"Oya? Aku nggak tinggal disini lagi Bi..." raut wajah ceria yang tadi langsung sirna. "Udah setahun yang lalu aku pergi." Kata Sidney sambil berbalik memandang satu-persatu foto yang tadi dia kecup.
"Bibi ngerti Non. Sabar ya, Tuhan nggak pernah tutup mata Non. Jadi setiap air mata yang diteteskan anak-Nya pasti diperhitungkan sama Dia."
Bi Kana dulu adalah pengasuh Mama sekaligus sahabat Mama. Mereka terlalu akrab dan Mama menganggap Bi Kana adalah saudaranya. Tentu, saat Mama meninggal dia tak kurang sedihnya dengan Nenek. Maka dari itu ketika Sidney lahir semua kebaikan yang ia terima dari Mama dibalasnya dengan cara sangat menyayangi Sidney. Sampai akhirnya Bi Kana menikah dan harus ikut kemana suaminya membawa.
Terkadang, mendengar masa lalu tentang Mama, ada sedikit kecemburuan dalam hati Sidney. Dulu Mama punya Bi Kana yang menemaninya dan masih punya Nenek yang sangat mencintainya. Nah, Sidney sekarang nggak punya sesiapa kecuali Hermon.
☼☼

Bi Kana membiarkan Sidney tenggelam dalam lamunannya, bukan dia tidak perduli. Tapi dia mengerti, Sidney sama dengan Berlin, Mama-nya. Diam jika sedang sedih, marah atau pun bingung. Namun diam juga yang akan menenangkan mereka. Dan dengan sabar, Bi Kana akan terus menunggui nya.
"Non nggak lelah?" Bi Kana membangunkannya, disaat hari menjelang sore.
"Kenapa ya Opa begitu benci sama aku Bi? Padahal aku satu-satunya keluarga, keturunan yang dia punya." Tanya Sidney tanpa melepas matanya dari foto Mama.
"Kenapa Papi begitu benci sama aku? Itu pertanyaan Berlin dulu, ditempat yang sama. Disini juga. Tapi dulu pendopo ini masih kosong..." Jawab Bi Kana ngambang, sambil mengenang masa lalu.
"Apa jawaban Bibi waktu itu?"
"Sebelumnya...apa Non siap..." Sepertinya Bi Kana ingin mengutarakan semua yang di pendamnya selama ini.
"Aku siap. Yang lebih buruk saja sudah sering aku dengar Bi," ujar Sidney seraya berdiri menyalakan beberapa lampu dikebun, dan memencet sebuah tombol merah dipilar. Bel untuk memanggil salah satu pelayan yang ada dirumah. "Apakah Mama bukan anak kandung Kakek Bi, sampai-sampai..." itu pikiran terburuk yang sempat terlintas dipikiran Sidney. Soalnya, alasan apalagi yang membuat Kakek begitu terhadap Mama dan keturunannya?
"Anak kandung. Bukan anak pungut yang kebanyakan orang bilang." Kakek adalah keturunan konglomerat yang terpandang dikota mereka. Jadi apa pun gerak-gerik keluarga besarnya, sudah pasti banyak menjadi bahan omongan orang kebanyakan.
"Terus, apa yang bikin Op..."
"Permisi..." datang seorang pembantu yang dipanggil Sidney dari bel tadi, memotong pembicaraan yang mulai tegang.
"Opa sudah balik Rin?"
"Belum Non, Tuan baru balik besok lusa. Biasa kan Non, hari Natal gini Tuan lama ke luar negrinya. Non makan malam disini aja yah, sama Bi Kana juga?" tawar Ririn si pembantu itu penuh harap. Rumah ini memang sudah sepi dan dingin, tapi sepeninggal Sidney, rumah istana ini jauh lebih dingin dan sepi lagi. Dulu, untuk memecah kesepian, Sidney kerap membawa semua pembantu dirumah untuk bermasak dan bercanda bersama.
"Makasih Rin, tapi dibawain kesini yah?"
"Baik Non. Beres." Seru Ririn, kegirangan.
"terus Bi, apa yang sebenarnya Opa benci dari aku dan Mama?"
"Baiklah, malam ini akan jadi sangat panjang karena Bibi mau menceritakan semuanya. Non sudah dewasa, waktunya Non untuk tau semuanya."
"Tolong ceritakan Bi,"
"Beliau, anak seorang konglomerat yang terhormat. Martabat dan nama baik keluarga selalu ada diatas kepala mereka. Opa sebagai pewaris tunggal, membuat tabiatnya jelek. Manja, sesuka hati, egois dan memaksakan kehendaknya pada orang lain. Satu hari, beliau mabuk karena kesal Oma menolak menikahinya..."
"Opa mencintai Oma? Bukannya orang bilang mereka dijodohkan?"
"Nggak, Opa sangat-sangat mencintai Oma. Terhadap orang lain bisa dia tidak peduli, tapi terhadap Oma, Opa akan melakukan apa saja. Apa lagi agar Oma menerima pinangannya, Opa menghalalkan segala cara..."
"Memangnya Oma tidak suka dengan Opa, sampai-sampai Opa harus berjuang untuk menikahi Oma?"
"Oma juga cinta sama Opa, tapi yang masih nggak bisa diterimanya, ya tabiat Opa itu. Suka mabuk dan marah-marah."
"Permisi...silahkan makan dulu Non, Bi..."
"Makasih Rin," sahut Bi Kana dan Sidney bersamaan. Lalu mereka berdoa sebentar mengucap syukur atas berkat hari ini dan kemudian melanjutkannya lagi.
"Lalu Bi?" tanya Sidney dengan penuh makanan dimulutnya.
"Banyak pria yang meminang Oma, dan itu makin buat Opa ketakutan kalo Oma akan menikahi pria lain. Akhirnya, saat mabuk berat, Opa memperkosa Oma."
"Klontang...!!" sendok dan garpu berjatuhan dilantai. "Jadi...jadi mama..."
"Kita makan dulu ya, ntar Bibi lanjutkan lagi ceritanya," kata Bi Kana sambil memberi segelas jus pada Sidney yang keliatan syok.
"Aku udah kenyang Bi," Sidney meneteskan air mata dan memungut yang berjatuhan tadi. Dihabiskannya segelas jus sebagai ganti makannya.
"Maaf Bibi harus menceritakan ini sama Non," lanjut Bi Kana juga menyudahi santapannya. "Berlin, mama Non dianggap aib aleh Opa dan meminta Oma mengaborsi janinnya. Tapi Oma menolak dan mengancam, mau anak tetap ada atau dia akan menikahi pria lain."
"Opa menurut?"
"Sperti yang Bibi bilang, Opa melakukan apa saja untuk bisa menikah dengan Oma. Akhirnya mereka menikah, dan saat Berlin berumur dua tahun, Oma mengandung lagi. Opa sungguh luar biasa kegirangan. Sebagai ungkapan bahagianya, Opa hendak menggendong Oma saat menaiki tangga rumah. Tapi malangnya, Opa terpeleset dan Oma keguguran. Sejak itu Dokter mem-vonis Oma sudah nggak bisa mengandung lagi..."
"Opa pasti sangat geram..."
"Pastinya, siapa pun yang ada saat itu jadi kambing hitam dan disalahkan, kecuali dirinya sendiri."
"Opa sangat egois!"
"Itulah dia Non. Didikan super manja malah menghancurkan sisi baik dalam dirinya. Tuan besar emang terlalu ego."
"Aku bisa menebak, pasti setelah itu Mama dianggap membawa sial."
"Persis seperti itulah yang dikatakannya waktu itu."
"Oma sendiri apa pernah menyalahkan kehadiran Mama?"
"Sama sekali tidak. Malah, Berlin seperti pusaka bagi Oma. Dia mengasihi anaknya lebih dari dia mengasihi suaminya."
"Opa pasti makin benci sama Mama."
"Akhirnya, nggak kuat dengan tekanan Opa, Berlin pergi dari rumah dan menikah dengan pria yang mencintainya. Oma jatuh sakit saat Berlin pergi, tapi berkat doa seorang ibu, Berlin pulang dengan membawa janin dalam perutnya. Opa pun masih tidak bersyukur atas kepulangan Berlin malah..."
"Cukup Bi, aku tau kelanjutannya..."
Hari sudah gelap setelah itu, dan Sidney masih menangis dalam pelukan Bi Kana. Ini sangat menyedihkan. Kenapa dia bisa dilahirkan dalam kungkungan emas, tapi tidak membahagiakan sama sekali. Malah mengerikan...
Hidupnya memang berkecukupan, harta berlimpah, tidak pernah kekurangan pangan dan materi. Tapi itu semua tidak ada indahnya jika kehangatan keluarga tidak ada dalam nya. Yang terasa hanya dingin dan kesepian, juga sakit hati yang berakar.

Lucky Star

BAB I

Dibawah langit pekat, angin yang dingin, ditemani beberapa bintang, ada kegalauan tersendiri yang terjadi. Rumah mewah, tapi selalu dingin. Meski ada beberapa orang yang tinggal didalamnya, tapi kesepian tidak pernah pergi dari hati yang beku. Kedinginan dan selalu kesepian.
Sidney diam-diam menghapus air mata yang masih bergelantungan dipelupuk matanya. Tatapannya masih melekat pada wajah sendu yang tertunduk dihadapannya. Setelah malam ini lewat dan hari berganti pagi, mungkin keceriaan tidak akan pernah ada diwajah manis Sidney lagi. Semua kebahagiaan akan pergi bersama wajah sendu yang sama sedihnya dengan dia malam ini.
'Aku juga cinta sama kamu Mon, tapi takdir berkata lain. Aku harus pisah dengan mu sebagai bukti aku benar-benar cinta sama kamu...' batin Sidney pilu, dia nggak bisa mengungkapkan itu semua pada Hermon kekasihnya. 'mungkin aku bisa gila kalau harus pisah sama kamu, tapi apa bisa aku buat? Aku nggak bisa melawan takdir Mon...' tak terasa, tetes lagi air bening itu jatuh ke pipi.
Malam kelewat larut, sudah hampir setengah hari Hermon menunggu jawaban yang pasti. Dia tau, Sidney menutupi sesuatu. Mereka saling mencintai, keduanya pun tau betul itu. Tapi yang membingungkan, kenapa Sidney bersikeras ingin pisah?
"Sudah malam Mon, besok..."
"Nggak besok. Aku tunggu sampai jam berapa pun, sampai kau kasih tau kenapa kau mau hubungan kita putus." Tegas Hermon.
"Sori Mon, aku nggak punya alasan apa-apa lagi untuk menjelaskannya."
"Cukup katakan sejujurnya. Kau nggak usah susah payah berpikir satu kebohongan untuk aku, kau tidak bisa menutupi apa pun didepanku."
"Aku...aku nggak bisa Mon..." desah Sidney putus asa.
"Si, dengarkan aku. Kau cinta sama aku, kau juga tau aku mencintai kau. Jadi kenapa Si, kenapa kau mau pisah sama aku?!" desak Hermon sama putus asa-nya. Dia lelah, nyeri di tangannya pun terasa lagi, mungkin reaksi obat dari Dokter sudah habis, tapi ditahannya nyeri itu sampai ia mendapatkan penjelasan dari Sidney.
"Please Mon..."
"Apa cinta kita dosa?! Dulu memang kita sahabatan, tapi kita menyadari kalo kita saling membutuhkan dan akhirnya kita memutuskan untuk pacaran. Apa itu dilarang?!"
"Bukan itu, aku cuma...nggak mau..." Sidney berhenti lagi, dan Hermon semakin kesal. Setengah hari Sidney selalu menggantung ucapannya. Dan semua ucapannya selalu tidak dimengerti oleh Hermon, sebenarnya apa yang mau Sidney sampaikan, tapi nggak bisa?!
"Kutanya sekali lagi. Masih cinta nggak sama aku?"
"Kau tau jawabannya." Jawab Sidney tertunduk.
"Kalo begitu, cukup sudah bagiku. Aku anggap nggak pernah dengar kata putus dan besok ku jemput seperti biasa. Jam delapan teng!" Hermon segera bangkit berdiri tergesa-gesa dan meraih kunci mobilnya.
"Tunggu Mon. Please... jangan seperti itu,"
"Kuhitung sampai tiga, kalo kau masih belum juga bilang yang sebenarnya..."
"Aku nggak mau kamu lebih celaka lagi Mon. Sekarang baru permulaannya, tangan kau hampir patah, dan apa yang akan terjadi lagi nanti dan..."
"Itu lagi, itu lagi. Cukup Si, beribu kali kujelaskan itu semua nggak ada kaitannya dengan kamu dan ini hanya kecelakaan kecil." Tumpah tangis Sidney.
"Kecelakaan itu ada karena kamu bersama aku, kamu beriringan dengan bintang kegelapan!" tumpah juga amarahnya, bukan marah dengan keadaan atau Hermon. Tapi dirinya sendiri.
Dia marah kenapa dilahirkan kedunia dan membawa gelar bintang kegelapan sejak dilahirkan. Hidup seakan tiada arti. Ingin protes dan marah tapi kepada siapa? Mama meninggal setelah melahirkannya, Papa menyusul saat dia sedang merayakan ulang tahun nya yang ke sepuluh. Nenek yang menyayanginya pun ikut pergi bersama Papa dan Mama. Kakek? Tinggallah kakek satu-satunya keluarga yang tersisa, tapi kakek membencinya. Sangat-sangat membencinya...
"Kamu itu anak pembawa sial dan kematian. Lihat, semua yang mencintaimu mati satu persatu. Kamu itu bintang kegelapan yang turun kebumi untuk menghancurkan orang terdekatmu. Tunggu aja, bentar lagi Opa yang renta ini juga akan mati kena sial mu itu." Kutuk kakek berulang kali. Bahkan, sebelum ia berhasil dilahirkan saja, kakek sudah membencinya.
Hubungan Mama dan Papa nggak disetujui Kakek, Mama pun pergi dari rumah. Menikah dengan orang yang dicintainya dan mengandung. Suatu hari Nenek jatuh sakit, kelelahan mencari anak satu-satunya yang hilang. Akhirnya Mama pulang dengan membawa janin dan suaminya kerumah.
Kakek malah tambah membenci Mama dengan kepulangannya. Pernah, Kakek mencoba membunuh janin Mama dengan ramuan, namun Mama berhasil lolos dari keguguran dan akhirnya lahirlah bayi perempuan cantik. Sidney namanya.
Tapi, apa arti kelahiran itu? Bukankah lebih baik ia mati sewaktu Kakek ingin membunuhnya dulu? Untuk apa juga ia ada didunia ini, hidup diantara segelintir orang yang jauh lebih berguna? Hermon selalu bilang, setiap kelahiran membawa misi tersendiri yang telah Tuhan tetapkan dalam setiap kehidupan. Nah, sekarang misi apa yang Tuhan titipkan pada si 'bintang kegelapan'?
"Si, setiap manusia itu berharga bagi Tuhan. Kita ini ciptaan-Nya yang diberi kuasa lebih dari seluruh makhluk yang ada didunia. Bahkan, iblis saja bisa kita kalahkan dengan kuasa yang dikaruniakan Tuhan atas kita. Jadi Si, dengarkan aku, tidak ada istilah bintang gelap atau pembawa sial dalam hidupmu. Kamu itu ciptaan berharga." Sidney tidak pernah bosan mendengarkan nasehat Hermon yang satu ini. Dengan begitu, dia merasa benar-benar berarti dan tersanjung. Namun... dihadapan kakek, semua kemuliaan arti hidup tadi hanya menjadi sebuah obsesi yang sangat susah dicapai.
"Thanks Mon..." Hermon meraih jemari Sidney yang dingin dan membawa tubuh gadis itu dalam pelukannya.
"Jangan menghina diri kamu lagi Si, karena dengan begitu, kamu merendahkan Pencipta mu yang membuat hidup mu jadi berharga."
Lama setelah itu mereka larut dalam keheningan. Tiba-tiba Sidney menangis lagi, rasanya ia nggak mau hari ini berganti esok. Bukan untuk berpisah dengan Hermon lagi yang dia khawatirkan. Tapi besok Kakek sudah kembali, dan ia akan hidup dalam kepahitan lagi.
"Mon...mau nggak bantu aku supaya aku yakin kalo aku adalah orang yang berguna dan bukan pembawa sial seperti yang Opa bilang,"
"Tanpa kau memintanya aku sudah melakukannya," bisik Hermon lembut.
"Thanks Mon...untuk segalanya. Aku bersyukur Tuhan mengirimkan kau untuk aku. Thanks Mon..." Sidney memeluk Hermon erat.
"Percayalah Si, semua kejadian baik atau buruk itu adalah rahasia alam yang nggak pernah bisa kita tebak. Serahkan semua pada-Nya dan Dia akan memeliharamu."
"Mon, sori. Aku nggak punya something very special yang bisa aku kasih sebagai rasa terimakasih ku."
"Kamu punya cinta."
"Just that."
"Its more than enough."