Thursday, October 30, 2008

My Created Story (Hena>>>>>5)

BAB V

"Aku terlalu mencintainya Tuhan. Begitu dia pergi dari hidupku dan anak kami, seperti hilang semua akal sehatku. Aku tidak bisa berpikir jernih dan terus memikirkannya... Ya Tuhan, tolong beri hambaMu ini kekuatan untuk tetap bisa bertahan tanpa cinta suamiku, dan jangan biarkan aku terus terjun dalam kekelaman. Bantu angkat saya, tolong agar saya bisa bangkit dalam keterpurukan ini ya Tuhan, supaya aku bisa membesarkan anak kami Hena dengan baik..."
"Kenapa papa jahat sekali sama mama?!" emosi Hena mulai membara lagi.
Sejujurnya Hena belum benar-benar mampu menerima maaf papa begitu saja. Dia merasa harus ada pembalasan dulu terhadap papa baru dia puas dan akan menerima papa kembali hidup bersamanya.
"Kenapa juga mama bisa mencintai orang semacam itu ma?!" geram Hena sambil memeluk erat buku diary mama yang sangat usang, lalu beberapa lembar kertas terjatuh berhamburan kelantai.
"Hena...!!" Lovin datang, serta-merta Hena meraup semua kertas yang berserakan dilantai itu dan menyelipkannya begitu saja dibawah bantal.
"Kamu nangis Hen?" tanya Lovin begitu membuka pintu kamar dan mendapati mata Hena terlihat sembab.
"Hah? Ah, nggak... Cuma...Cuma... " Hena gelagapan.
"Kamu boleh cerita apa saja Hen. Aku selalu ada untuk kamu." Meski Hena berusaha menutupi, tapi dia tetap nggak bisa membohongi Lovin.
"Aku belum bisa memaafkan papa Vin. Aku nggak tau lagi harus bagaimana supaya bisa menerimanya kembali, aku-aku masih membencinya..."
"Hen, dengarkan aku kali ini. Yang pantas menerima atau tidak menerima maaf papa cuma Tuhan. Kamu sebagai anak hanya pantas berbakti sama orangtua. Berdoalah minta pelepasan pengampunan itu Hen, Tuhan Yesus dengan kuasa-Nya mampu menyuci-kuduskan hati kita. Always keep praying." Hena menitikkan air mata lagi.
"Aku nggak kuat hidup seperti ini Vin. Aku ingin bebas, aku ingin hidup normal tanpa beban dosa apalagi menimbun dendam seperti sekarang. Help me Vin..."
"Aku cuma bisa berdoa dan berdoa Hen. Karena aku yakin tidak ada doa yang sia-sia. Tapi tetap hanya Tuhan yang mampu membebaskan kamu dari beban berat itu." Lovin mengelus-elus pundak Hena yang sesungukan.
"Tolong doakan aku Vin..."
"Pasti. Tanpa kau memintanya aku sudah melakukannya."
"Thanks for everything you've done on me. Aku bersyukur masih ada sodara seperti kau Vin. Aku benar-benar bersyukur," ucap Hena yang menyadari bahwa masih ada Lovin, sahabat yang tidak bosan dan jemu menemaninya dalam situasi apa pun. Dan dia sangat berterimakasih pada Tuhan yang mempertemukan Lovin kepadanya.
"Mandi dah, bau tengik kau Hen." Kata Lovin begitu dilihatnya Hena mulai bisa mengendalikan emosinya dan sudah berhenti menangis.
"Sialan. Baru aja aku selesai mengucap syukur sama Tuhan punya sahabat sepertimu, eh ternyata oh ternyata..." dumal Hena sambil meraih handuk yang tergantung dibalik pintu.
Sementara Hena bersiap-siap mengharumkan diri, seperti biasa Lovin selalu membantu merapikan kamar Hena yang tidak pernah rapi, juga sudah mulai bau apek. Dibukanya lemari untuk mengambil sprei baru, mengganti sprei lama yang sudah seperti kain pel.
Disaat Hena hendak mengganti sarung bantal, Lovin mendapati dibawah bantal ada sebuah buku diary yang sangat usang. Mungkin buku ini yang membuat sprei Hena bau apek, pikirnya sambil mengambil buku itu dan melihat isi dari buku usang yang sampai-sampai disimpan Hena dibawah bantalnya.
'Disatu sisi aku bersyukur Tuhan, memiliki suami yang rela melepaskan kebahagiaan serta harga dirinya untuk anak yang kami cintai, Hena. Aku merasa tidak sia-sia mencintai dia seumur hidupku, tapi disisi lain ada sebuah kekecewaan karena pada akhirnya dengan pengorbanannya itu, kita satu keluarga jadi tidak bisa bersatu lagi...'
Jantung Lovin berdebar-debar membaca isi dari buku itu. Ada perasaan bersalah dalam hati kecilnya karena membaca buku harian mama Hena dengan diam-diam. Tapi seperti ada kekuatan lain yang membawa pikiran dan tangannya untuk terus membaca lembaran demi lembaran yang berisi ungkapan hati yang pilu itu.
'Hari ini aku bertemu dengan mantan suamiku setelah hampir setahun kita berpisah Tuhan, dan ternyata apa yang kita pikirkan selama ini adalah sama. Kita sama-sama menyesali dengan yang sudah terjadi. Seandainya saja kita berdua sudah mengenal Engkau yang Empunya tidak mungkin menjadi mungkin lebih cepat, anak kami pasti akan tertolong tanpa mengorbankan kebahagiaan dan harga dirinya...'
Sambil terus meneteskan airmatanya, dengan pandangan buram Lovin sibuk mencari lembaran lain lagi yang berserakan dilantai.
Ada kesedihan luar biasa merayap dalam hati Lovin, sebenarnya dia juga belum paham betul dengan apa yang diungkapkan mama tentang perjanjian tersebut, tapi ada satu sensasi yang mengguncang emosinya.
'Tuhan-ku Yesus Kristus yang baik...jika seandainya Hena harus tau masalah perjanjian yang menyebabkan papa-nya meninggalkan kami berdua ini, ijinkanlah dia menemukan buku diary yang setiap hari kutulis ini. Tapi seandainya Hena tidak tau masalah sebenarnya, oh Tuhan aku tidak bisa membayangkan kalau dia jadi durhaka membenci orangtua yang sudah berkorban segalanya untuk dia. Tuhan...aku pasrahkan semuanya kepadaMu, aku yakin Kau tau yang terbaik dan terindah bagi kami...'
Lovin menangis sejadi-jadinya. Terus, dia mengumpulkan setiap lembaran yang tercecer dari buku usang itu, dan mendapati satu lembaran agak tebal yang terlipat rapi.
"Lovin?!" hena berhenti mengibas-ngibaskan rambut basahnya lalu mendekati Lovin yang tampak tersudut dan meraung. Buku itu masih dalam genggamannya.
"Ma-maaf kan...aku Hen..." ucap Lovin terbata-bata disertai isak tangisnya.
"Sudahlah, biar kau tau juga aku punya papa yang seperti apa macamnya," Lovin meraung lagi, apa yang mau diucapkannya tidak bisa keluar. Dia belum bisa membayangkan bagaimana reaksi Hena jika seandainya tau yang sebetulnya terjadi, antara mama-papa dan perjanjian tersebut.
"Luar biasa Hen...He is a perfect father for you..." Segera Lovin menyerahkan semua yang telah dibacanya, yang belum sempat terbaca oleh Hena, beserta surat perjanjian antara Dokter Heryanto dengan Bapak Johanes, papa Hena.

Hena merosot sampai kelantai yang sedikit berdebu, besandar pada pintu lemari dan menjatuhkan dirinya sampai tergeletak. Dia merintih kesakitan. Bukan sakit jasmani, tapi sakit batin yang tidak kuat ditanggungnya. Ingin dia menenggelamkan dirinya dalam satu kubangan panas agar dirinya ikut terbakar bersama penyesalannya.
Tiba-tiba rasa takut menghinggapinya, perasaan yang tidak jelas menyiksa Hena sampai ketulang-tulang. Tidak satu pun perkataan mampu diucapkan, dia merasa malu dan takut terhadap apa yang sudah dibuatnya selama ini. Lalu ia merasa kedinginan, tubuhnya, tangan dan kakinya semua jadi beku dan ia menggigil dilantai.
"Hen..." Lovin jadi takut melihat reaksi Hena seperti sekarang. Benar apa yang disangka Lovin, reaksi Hena mengerikan. Kondisi Hena sungguh memprihatinkan.
"Ak-aku...aku..."
"Tau Hen, aku mengerti perasaanmu sekarang ini..." Kepanikan Lovin makin menjadi saat menangkap badan gemetar Hena.
"Lebih dari yang kau kira Vin...a-aku...aku jijik sama diriku yang...yang durhaka Vin..."
"Udahlah Hen, udah..." lovin tau, dia akan segera mencaci dirinya sendiri, dan Lovin tidak akan kuat lagi mendengar Hena yang sudah tersiksa dengan penyesalan trus mengutuki diri lagi. Seerat-eratnya Lovin mendekap Hena agar dia sedikit tenang.

No comments: