Friday, October 24, 2008

My Created Story (Hena>>>>>4)

BAB IV

'Aku bersyukur atas belas kasihan Tuhan yang Dia beri padaku, Tuhan mendengar doaku dan menyelamatkan Hena. Padahal belum pernah aku berdoa sebelumnya, malahan kenal saja aku tidak dengan yang namanya Tuhan Yesus. Tapi oh sungguh luar biasa kasih dan rahmat yang Dia beri pada hidupku dan Hena. Dia mau memandang hati yang susah, tanpa melihat kebelakang atas apa saja yang telah kami buat...'
Hena menutup buku diary mama yang tidak sengaja ditemukannya digudang saat sedang mencari sepatu Lovin yang dipinjamnya tempo hari.
'Terimakasih Tuhan Kau telah menyelamatkan hidupku. Terimakasih Engkau membukakan hatiku yang hampir tertutup untuk dapat melihat kasih-Mu yang besar. Dan ampuni hamba-Mu yang berdosa ini karena telah hendak pergi jauh dari Engkau Tuhan. Padahal Engkau sudah menyelamatkan aku...' Doa Hena yang baru mengetahui bahwa hidupnya terselamatkan oleh belas kasihan Tuhan terhadapnya. Dia meraih tisu disampingnya, lalu membuka kembali buku diary yang sudah usang itu tapi Lovin keburu datang.
"Kamu nangis Hen?" tanya Lovin yang ngeloyor masuk kekamar dan meletakkan barang belanjaannya diatas meja. Hena mengangguk ragu, matanya tak lepas memandang Lovin untuk mencari kesempatan menyelipkan buku diary itu kebawah bantal.
"Papa barusan datang ya?" Hena diam, apakah harus berbohong ataukah dia harus cerita tentang buku harian mama. "Dan kau mengusirnya lagi, kau maki-maki orangtuamu lagi?!" todong Lovin kesal. "Bagaimanapun juga dalam tubuhmu ada darahnya mengalir disana Hen, jadi bagaimana pun kau tolak, dia tetap orangtuamu." Hena yang tadi masih bengong untuk berpikir jadi terbangun. "Sadarlah Hen, minta Tuhan pulihkan hatimu yang penuh dendam." Lanjut Lovin sambil terus membereskan meja belajar Hena yang selalu berantakan.
"Vin..." desis Hena ditengah ceramah dari mulut Lovin yang tidak kunjung berhenti ngomel.
"Apa?! Kau minta aku berhenti mengomentari masalah ini? Nggak bisa Hen, aku nggak rela kamu makin terjerumus dalam limbah dendam mu itu." Jawab Lovin tegas tanpa menoleh dan terus sibuk dengan pekerjaannya.
"Bukan...aku kangen mama Vin..." Lovin berhenti dari kesibukannya lalu menoleh. Dan betapa kagetnya dia mendapati Hena sudah menangis tersedu-sedu dipojok sana. "Aku rindu sekali padanya..." makin hebat tangis Hena, dan Lovin buru-buru mendatanginya, memeluknya erat. "Kenapa cepat sekali dia pergi tinggalkan aku disini..."
"Kamu nggak sendirian Hen..." Lovin ikut menangis.
"Belum puas aku merasakan kasih sayang mama, tapi dia sudah pergi..."
"Kamu bisa mengandalkanku dan Papa..."
"Jangan sebut dia lagi." Kata Hena sambil sedikit mendorong tubuh Lovin "Please..." mohonnya dengan sangat. "Dari aku kecil hidupku sudah sebatang kara dan itu semua karena siapa?!" tuding Hena berusaha meredam tangisnya.
"Kenapa sekali aja Hen kau tidak mau bertanya, kenapa dulu dia pergi begitu saja. Mungkin dia punya alasan yang kuat atau terdesak sesuatu..." Ujar lovin melepas pelukannya.
"Sudah jelas dia nggak mau bertanggung-jawab dan sudah nyata dia lari bersama wanita lain." Jawab Hena sembari mengeringkan sisa-sisa air matanya.
"Tapi itu kan hanya sekedar omongan tetangga, dan nggak pernah kan kau bertanya pastinya kenapa dia berbuat seperti itu?!"
"Aku malas dengar semua kebohonghannya. Untuk apa aku bertanya hanya untuk sebuah kebohongan? Setiap kali dia ingin menjelaskan aku menutup kupingku rapat-rapat dan pergi."
"Inilah kebiasaan burukmu. Jangan sampai menyesal dikemudian hari Hen, karena penyesalan itu sangat menyakitkan."
"Udah deh Vin. Stop talking about this. I'm bored." Potong Hena. "Aku sudah terlalu dewasa sekarang untuk mendengar kebohongan-kebohongan semacam itu. Nggak lucu kan Vin dengan umurku yang dua puluh tujuh ini harus percaya atas kebohongan yang biasa ditujukan untuk anak kecil?!"
"Dari mana kau tau itu kebohongan, dan siapa tau itu adalah kenyatan?" Tukas Lovin.
"Gini deh Nek, mending sekarang kau temani daku kesalon dan beli baju baru." Seru Hena tiba-tiba jadi riang dan antusias. Lovin mengerutkan keningnya dan mengekori langkah Hena yang meraih handuk dibalik pintu. "Tapi pake duitmu dulu ya," katanya lagi, lalu menjulurkan lidah dan mengedipkan sebelah matanya.
Lovin berpikir keras, apa hari ini ulang tahun Hena atau ulang tahunnya? Tapi perasaan baru aja deh lewat hari ulang tahun mereka berdua. Tahun baru masih setengah tahun lagi malah.
"Emangnya..." Lovin berpikir lagi sebentar, apakah dia ada janji sesuatu? "Emang ada acara apaan?" tanya Lovin akhirnya setelah dia yakin tidak ada ulangtahun dan tidak ada janji apapun.
"Hari ini kan Minggu?" Seru hena seolah mereka telah merencanakan sesuatu.
"Terus?" Masih, Lovin belum dapat menangkap artinya.
"Ntar sore kita kegereja yuk..." Glek!Lovin terbelalak. Akhirnya ya Tuhan, dia mau kembali padamu. Tapi kira-kira apa ya yang membuatnya sadar, sedangkan rasanya baru saja kemaren Hena mengamuk dan selalu protes jika Lovin terus membicarakan tentang betapa baiknya Tuhan itu.
"Apa Hen, coba kau ulangi lagi perkataanmu?"
"Ke gereja monyong!"
"Thanks God! Akhirnya Hen..." Lovin memandang Hena nanar, terharu.
"Thanks untuk doamu yang nggak pernah putus untukku Vin, thanks juga untuk semua kesabaranmu dengan kelakuanku selama ini..." ucap Hena dengan mata berkaca-kaca. "Aku mau kembali pada Penyelamatku. Sudah banyak kesalahan yang kubuat, sekarang aku mau bertobat dan memohon ampun. Aku baru tau, Dia-lah Penyelamatku Vin... dan aku sadar aku sudah berdosa hendak lari dari genggamannya..."
"Praise God...!" hanya itu yang dapat diungkapkan oleh Lovin sebagai ucapan syukurnya, hingga dia lupa untuk bertanya kira-kira apa yang mengubah Hena secepat ini. Baru saja Hena protes atas apa yang diterima dalam hidupnya pada Tuhan. Dan lihatlah sekarang?
"Sori ya Vin yang kemaren-kemaren..." tanpa banyak berbalas kata, Lovin mendekap erat Hena untuk mengatakan bahwa itu semua sudah terbalas dengan kesadaran yang ada dalam diri Hena saat ini.
Lovin menambah kuat pelukannya.
"Vin...uhuk...kayaknya kamu terlalu kenceng deh meluknya, uhuk..." ujar Hena terbatuk-batuk. Tapi Lovin tetap nggak melepas dekapannya. Dia terlalu bahagia. Benar, Tuhan tidak pernah membuat doa seseorang menjadi sia-sia.
"Yah begini juga Tuhan Yesus memelukmu sewaktu kamu ingin pergi dariNya Hen," Lovin masih menangis, masih terharu dan kagum.
"Tapi Vin, setidaknya Dia pasti memberi kelonggaran sedikit kan, agar aku bisa bernapas?" kata Hena dengan suara tertahan seperti orang kejepit pintu.
"Hehehe... udah deh, mandi sono! Bau telur asin tau nggak?!" canda Lovin sembari mendorong tubuh Hena yang kerempeng. Lalu menyeka airmatanya.
"Sialan! Eh tapi Vin, kau bawa duit kan? Pinjem dulu ya..."
"Nggak usah sampe segitunya kali Hen mau kegereja. Yang dipandang Tuhan kan isi hatimu, bukan penampilannya?!" kata lovin sambil membuang cairan dari dalam lubang hidungnya, sebagai reaksi akibat dari tangisnya.
"Sebagai bentuk syukur aja Vin, masa nggak boleh? "
"Whatever lah. But dont forget give my money back, ok?!"
"Nyicil ya?"
"Emang aku tukang kredit?"
"Itung-itung amal lah Vin, biar ntar Tuhan gantikan berlipat-lipat kali ganda..."
"Amin...Amin..."

No comments: