Sunday, October 12, 2008

My Created Story (Hena>>>>>3)

BAB III

Sepuluh menit lewat dari jam sembilan pagi. Papa masih berdiri didepan pagar kayu coklat yang natural dan cantik. Setelah lewat beberapa menit yang menyiksa batin, Papa akhirnya memutuskan mendorong pagar yang tidak pernah terkunci tersebut.

Lalu papa berjalan gontai, langkahnya sedikit terseret saat memasuki pekarangan rumah yang sangat asri, banyak dipenuhi tanaman hias yang terawat rapi. Samar-samar suara burung kicau mulai terdengar dan empat langkah lagi kedepan, suara burung itu sudah makin jelas. Itu berarti Papa telah berada didepan pintu masuk, yang dulu kerap dia tandangi. Papa terpaku sebentar, berpikir ulang sebelum mengetuk pintu. Apakah ini jalan terakhir yang harus diambil? Apakah benar tidak ada pilihan lain lagi sebagai bandingannya? Apa keputusan ini sudah benar-benar pantas dia bulatkan sebagai jalan akhir yang dia harus putuskan?

Kemudian beberapa menit berubah menjadi setengah jam dan Papa masih memandang pintu tanpa mengetuknya. Tapi sesudah menyeka keringat yang mulai berjatuhan didahi, tangan Papa terangkat untuk mengetuk pintu itu dua kali.

Tidak lama Papa menunggu, sosok tegap nan dingin mengintip dari balik jendela, kemudian Papa menarik napas panjang-panjang untuk meredekan hatinya yang berdebar kencang dan menyeka keringatnya, lalu dia mengikuti langkah sosok tinggi besar didepannya dan duduk di sofa coklat begitu sang tuan rumah mempersilahkannya duduk.
"Apa maksud kedatanganmu?" tanya dokter Heryanto dingin. Sebenarnya ia tau arti kedatangan Papa hari ini. Tapi karena Papa hanya diam tertunduk, ia jadi tidak sabar untuk tidak bertanya.
"Pa, saya..."
"Dokter Heryanto!" potong sang Dokter emosi. "Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi panggil saja saya Dokter Heryanto dan kamu akan saya layani sebagai pasien." Tegasnya sambil mendengus kesal.
"Ma-maaf..." jantung Papa tambah berdetak lebih hebat. Ketakutan mendera batinnya, gelagat tidak mau menolong terpancar dari garis mata tajam sang Dokter.

"Kamu kesini mau menanyakan hal tentang May atau..." Dokter Heryanto sengaja menggantung ucapannya untuk memancing reaksi Papa.
"Saya...mau minta pertolongan Papa..."
"Sudah kukatakan..."
"Saya tau Pa..." sergah Papa cepat. "Saya tau saya salah, saya berdosa dengan keluarga Papa..."
"Bagus kalo kamu sadar!" Merasa ada kesempatan untuk menekan Papa, Dokter Heryanto menanggapi cepat pernyataannya.

"Tapi, tolonglah saya kali ini. Sekali ini saja, saya mohon...pandanglah hubungan kita dulu, bukankah Papa menganggap saya sebagai anak sendiri? Papa yang ngomong gitu sama saya." Todong Papa membuat Dokter Heryanto cukup kaget. Untuk beberapa saat beliau tercengang dan canggung. Tidak menyangka akan mendapat tekanan balik.

"Dengar," katanya setelah susah-payah menelan ludah. "Dulu hubungan kita memang baik dan aku...me...ehem...menyayangimu seperti anakku sendiri... Tapi, setelah kau tinggalkan May, tunanganmu yaitu anakku satu-satunya saat acara pernikahan, Kamu sudah kuanggap sebagai musuh besarku." Geramnya setelah sempat berdehem sebentar. "Dan kau tau, sekarang dia dalam perawatan rumah sakit jiwa. Depresi berat!"
"Aku meninggalkan dia karena aku menyayanginya. Aku sadar aku tidak mencintai May tapi aku menyayangi dia seperti adikku sendiri, karena kita dari kecil sudah bersama layaknya saudara kandung... Pa, bagaimana nasib May kalau kita tetap menikah tapi aku terus memikirkan wanita lain diluar sana yang aku cinta?" Papa mengulang alasannya yang dulu telah berulang kali dilontarkannya.

"Tapi ternyata pilihan itu lebih baikkan, dari pada kamu meninggalkannya? Lihat, apa yang terjadi sekarang dengan May dan lihat akibatnya kamu tidak menikahinya. Apa itu kasih sayang mu terhadap May?!" Papa menggigit bibirnya kuat-kuat . Perasaan ini lebih menyakitkan dari apa pun, perasaan bersalah adalah beban yang sulit untuk dipikul Papa. "Jadi apa yang kau minta dariku?!" tanya Dokter Heryanto lantang. Teringat kedatangan Papa yang ingin minta pertolongannya.

"Tolong anak saya Pa, hanya Papa yang bisa menyelamatkannya. Bantulah saya kali ini. Sekali ini saja Pa. Karena kalau papa tidak segera menolongnya...dia..." tak kuasa menahan kesedihan yang diderita, Papa menangis teringat bagaimana sang buah hati terkulai lemas tak berdaya di rumah sakit. Dan hal itu membuat Dokter Heryanto tambah geram, cemburu juga iri. Ternyata benar apa yang dikatakan bekas calon mantu kesayangannya itu bahwa dia lebih mencintai orang lain ketimbang May.

"Kau campakkan anakku dan sekarang memintaku untuk menyelamatkan anakmu?!"
"Anakku tidak berdosa Pa, dia tidak ada sangkut pautnya dengan masalah kita."
"Atas dasar apa aku harus menyelamatkan anakmu sedang anakku sendiri tidak tertolong?" Papa diam. Keadaan jadi hening beberapa saat. Lalu Dokter Heryanto bangkit dari duduknya meninggalkan papa di ruang tamu, kemudian kembali lagi setelah itu dengan membawa map file berwarna merah ditangannya. "Aku akan segera ke Rumah Sakit menangani anakmu, begitu selesai kau tanda-tangani surat perjanjian ini." Katanya sambil menyerahkan map tersebut kepada papa yang terheran-heran. "Aku sudah menyiapkan ini jauh sebelum kau kemari. Aku tau masalah anakmu sejak pertamakali kau ke rumah sakit." Lanjut Dokter Heryanto seperti ingin menyatakan bahwa kehidupan papa tidak lepas dari pantauannya.

Papa membuka map dengan hati gelisah. Firasatnya mengatakan ini pastilah bukan hal yang baik, dan yang buruk akan datang menimpanya. Sorot dendam dan kebencian jelas nampak sejak awal mereka bertatap dimuka pintu tadi. Sebenarnya Papa juga sempat ragu menghancurkan harga dirinya untuk memohon-mohon pada Dokter Heryanto agar mau menolong anaknya, tapi apa boleh buat, sepertinya ini adalah jalan yang tidak ada pilihan lagi.
Cukup lama Papa menelaah setiap perkataan dalam surat tersebut, sambil merenungkan baik-baik sebelum menggariskan tanda-tangannya diatas surat bermaterai itu. Air mata jatuh lagi satu-persatu membasahi surat perjanjian yang dibuat oleh bekas calon mertua, yang dulunya adalah sosok lembut dan penuh kasih. Berbeda dengan yang ada dihadapannya sekarang ini. Sorot kebencian selalu bersinar diatas kelembutannya.

Dada Papa sesak, hatinya sakit luar biasa. Inilah pembalasan setimpal yang harus diterimanya sebagai kenyataan. Tidak begitu jelas saat Papa sedang membubuhkan tandatangannya diatas surat perjanjian yang dimana terdapat dua pihak.
Yaitu pihak pertama, Dokter Heryanto dan pihak kedua Bapak Yohanes. Bahwa pihak pertama akan melakukan operasi terhadap anak bernama Hena, anak dari pihak kedua serta membiayai seluruh administrasi Rumah Sakit jika, pihak kedua setuju dan bersedia menikahi May anak pihak pertama dan juga membantu May memulihkan jiwanya yang tertekan akibat depresi berat.

Mama yang harap-harap cemas dalam penantian, tak melepas pandangannya dari pintu dimana Papa pergi tadi. Namun kekecewaan datang. Pintu itu terbuka lebar, tapi yang kembali bukan Papa, beberapa suster masuk berhamburan membawa masuk peralatan-peralatan medis yang membuat mama merinding. Salah satu dari mereka ada yang menjentik-jentikkan jarum suntik dan menyuntikkan suatu cairan dalam tubuh buah hati hingga dia yang sudah lemas makin tidak berdaya dan akhirnya pingsan.
"Permisi Bu, anak Ibu akan segera dioperasi. Semua telah disiapkan," Ijin salah satu dari mereka sambil membawa keluar buah hati untuk dioperasi.
Mama agak sedikit menjauh dari kerumunan para suster agar mereka lebih leluasa bergerak. Terus mama mengikuti langkah mereka sampai didepan pintu ruang operasi. Mama berdiri terpaku disitu seperti orang bisu, mulut terbuka ingin mengucapkan sesuatu tapi semua tergantung begitu saja, airmata pun berlinang-linang membasahi wajahnya.
"Tolong anak saya Tuhan..." pinta mama, teringat akan Tuhan yang penuh kuasa dan mujizat. Untuk pertamakali dalam sepanjang hidupnya, mama mengatupkan kedua tangannya berdoa dan memanggil nama Tuhan. Entah bisikan dari mana mama tiba-tiba bisa teringat kalau didunia ini ada kuasa dan mujizat yang akan terjadi dalam Tuhan. "Selamatkan anak saya ya Tuhan... kasihanilah kami...selamatkan Hena..." mama terus berdoa, sementara Hena sang buah hati masih mempertaruhkan nyawa dimeja operasi.
Namun papa belum juga muncul, kekecewaan yang teramat sangat melanda mama. 'meskipun papa sudah mengambil keputusan itu, setidaknya temanilah aku sebentar disini pa...aku bingung, stres dan hampir gila...' batin mama pilu. Perasaannya bercampur-aduk. Kesepian merayap dihatinya, dia merasa tidak ada pegangan dan tumpuan hidup.
Disatu sisi dia harus tegar dan rela melepas kepergian papa, disatu sisi dia masih harap-harap cemas dengan hasil operasi Hena. Seandainya operasi Hena tidak berhasil, sia-sialah pengorbanan papa. Tapi mama teringat kembali dengan Tuhan, dan terus mama berdoa hingga operasi Hena selesai dan berhasil. Puji Tuhan. (2b continue)

No comments: