Thursday, May 10, 2012

Lucky Star

BAB III


Meeting telah usai, anggota yang lain telah meninggalkan ruangan sejak tadi. Bahkan, beberapakali office boy yang hendak membersihkan ruangan tidak jadi masuk begitu melihat Sidney masih duduk termangu disudut ruangan sana. Mereka pikir akan ada meeting lanjutan, tapi sudah satu jam berlalu, nggak ada dewan atau anggota lainnya yang kunjung datang. Hendak menegur dan menanyakan langsung pada Sidney, tapi ia sungkan karna begitu larutnya Sidney dalam lamunan.


"Si, apa yang kau buat disini?! Aku pikir kau sudah ada diruang kerjaku" tegur bapak direktur mengagetkan Sidney yang kontan jadi blingsatan dan gugup. Rupanya sudah sejak meeting usai tadi pak direktur menunggu laporan hasil meeting yang dipegang sekretarisnya untuk diserahkan, tapi orangnya nggak muncul-muncul.


"Hah?! Oh ma-af Mo... Eh, pak..." Sidney gelagapan, seperti maling yang ketangkap basah.
"Keruanganku sekarang." perintah Pak direktur.


Dengan langkah sedikit diseret, Sidney malas-malasan mengekori langkah sang direktur yang lebar-lebar. Sengaja diperlambatnya langkahnya sambil memikirkan alasan mengapa dia sama sekali nggak konsen dalam kerjanya hari ini.


"Nah, sekarang ceritakan padaku mengapa sejak meeting tadi kau tidak focus?"

"A-aku... Aku tidak apa-apa kok," Sidney berusaha menutupi. Rasanya dia belum siap aja menceritakan kegelisahannya beberapa hari ini, sejak kepulangan kakek dari negara Sidney.
"Kalau begitu, coba sekali lagi kau presentasikan hasil meeting tadi." Sidney membeku... Cilaka! Pak direktur selalu tau kalau dia sedang berbohong, ataukah dia yang kurang pandai berakting? Entahlah....
"A-aku cuma ga enak badan aja, bo-bolehkah aku ijin pulang?" Sidney berharap bisa mengindari desakan berikutnya, agar dia tidak perlu menceritakan panjang kali lebar kegelisahannya beberapa hari ini, karna dia lagi malas untuk bercerita. Tapi tangan pak direktur lebih cepat bergerak sampai kejidatnya. Ketahuan bohong lagi deh!
"Si, kau lupa komitmen kita untuk saling terbuka dan selalu jujur? Satu diantara kita tidak boleh ada kebohongan," lagi-lagi mati kutu. Akhirnya Sidney menyerah, lebih baik dia ceritakan saja daripada berurusan lebih panjang lagi dengan Pak direktur.
"Sori Mon, bukan aku ingin main rahasia-rahasiaan denganmu... Tapi, aku cuma ga mau kamu jadi khawatir. Kerjaanmu banyak dan aku ga mau menambah daftar kesibukanmu dengan urusanku"
"Urusanmu juga sama pentingnya dengan urusanku yang lain, karna kau penting bagiku. Kau sudah jadi bagian dalam hidup aku dan segala masalahmu juga termasuk masalahku. Jadi sekarang katakan..." Sidney menghela napasnya dan membuangnya.
"Opa Mon..." Hermon mengernyitkan keningnya.
"Bukannya Opa ada di Sidney sudah dua bulan terakhir ini? Apa ada sesuatu terjadi dengannya disana?"
"Sudah balik, dan dia baik-baik saja"
"Syukurlah... Kukira ada apa-apa dengannya,"
"Mungkin nanti aku yang ada apa-apanya Mon..."
"Maksud kau?"
"Beberapa hari yang lalu dia menelponku, dan tadi pagi dia menelponku lagi"
"Mau Mengatai kau lagi?"
"Entahlah, dia cuma bilang aku harus kesana malam ini. Ada yang ingin dia sampaikan... Sebenarnya aku malas banget kesana Mon, tapi aku juga jadi penasaran. Nada suaranya berbeda tidak seperti biasanya" Sidney terngiang kembali suara lembut Kakek. 'datanglah...' kata Kakek sebelum menutup telponnya.
"Aku temani kau kesana,"
"Haruskah?"
"Yah kalau kau tidak butuh ak..."
"Bukan, maksudku haruskah kita kesana?"
"Harus."
"Kenapa?"
"Mungkin ada sesuatu terjadi. Makanya dia mengharapkan kau datang,"
"Yakin? Siapa tau aja dia punya cacian yang baru yang lebih seru diomongkan didepan hidungku langsung?"
"Pikiran kau sudah terlalu jauh, Opa bukan anak belasan tahun seperti itu."
"Jadi kita kesana malam ini?" Sidney masih ragu.
"Opa kau bukan harimau yang akan langsung menerkam begitu batang hidung kau keliatan. Tenanglah, jangan hal buruk selalu kau pikirkan. Kita hadap dia malam ini, ok?!"
Sidney mengangguk lemah mengiyakan ajakan bos sekaligus kekasihnya itu.

No comments: